Naskah drama
KECOA
LAKI-LAKI
Karya Dwi Wulandari
KECOA
LAKI-LAKI
Karya Dwi Wulandari
Aktor
Perempuan
tua : Perempuan usia
45 tahun, jiwanya terguncang, percaya diri.
Perempuan
setengah baya : Perempuan usia 25
tahun, cantik, sexy.
Perempuan
muda : Perempuan usia 16
tahun, polos.
Polisi : Lelaki
usia 21 tahun, pengkhianat Negara, bijaksana.
Lelaki
dewasa : Lelaki
usia 30 tahun, penyayang, labil.
Istri
tua :
Perempuan usia 28 tahun, serakah, kasar.
Cik
Dolang :
Lelaki usia 30 tahun, orang kaya sombong, jahat.
Lilis :
Tetangga Perempuan tua, baik, penyayang.
Imas : Anak
Lilis, usia 9 tahun, polos.
Dadang : Tetangga
Perempuan tua, usia 50 tahun, licik, kasar.
Ratih : Istri
Dadang, kasar, mudah terpengaruh.
Ela :
Teman Ratih, tukang adu domba, provokator.
Ujang : Tamu
dari kampung sebelah, orang Sunda kuno.
BABAK 1
Ada
sebuah tempat tidur yang ada kelambunya di sisi kanan panggung agak kebelakang.
Di sebelah kiri terdapat kaca rias membelakangi penonton. Menggambarkan sebuah
rumah dengan ruang segiempat tanpa sekat. Ruangan yang bisa digunakan untuk
kamar tidur, bersolek, ruang tamu, sekaligus dapur untuk memasak.
Perempuan
tua
(Sedang
tertidur pulas menghadap penonton. Berpakaian kebaya dengan bawahan kain jarik
khas Sunda. Wajahnya penuh dengan make up
dan lisptick tebal dibibir. Rambutnya
masih dalam keadaan disanggul. Pinggangnya dilingkari kain Sinden (tersengar
suara serangga secara tiba-tiba. Perempuan terbangun kemudian mengejar serangga
kesana kemari, ditumpukan bantal, selimut, dipojok tempat tidur, dibawah kolong
tempat tidur, sampai ketengah panggung. Berusaha memukuli serangga menggunakan
sendal jepit). Mati kau kecoa, mati! Kenapa kau singgah dikamarku?!! Kau
sungguh menjijikkan! Kecoa kau! Kecoaa!!! (tertawa setelah mendapati kecoa
telah mati). Rasakan kau, rasakan! Kau tahu bahwa kau menjijikkan, hah?!! Tidak
ada orang yang mau mendekatimu. Kau sadar tidak? Ah, terdengar seperti diriku
saja! Tidak-ada-yang-mau-mendekati-diriku. Ya, aku akan mati disini, sendiri,
diruang sempit ini, jelek, buruk, kumuh. Menjijikkan! Hah, menjijikkan
sepertiku? Apakah aku benar-benar menjijikkan? (meringkuk sambil menangis).
Tidak, aku tidak menjijikkan sama sekali. Mereka yang menjijikkan. Kau, kalian
semua yang menjijikkan! (terisak-isak sampai terdengar suara-suara).
Kau
yang menjijikkan! Kau hina! Kau kotor! Pelacur kau!! Perebut suami orang!
Perusak rumah tangga orang! Mati kau, mati! Kau lebih baik mati saja! Tidak ada
gunanya kau hidup. Kau cuma kotoran dibumi. Apa kata ibumu nanti? Tidak tahu
diri kau! Busuk! Perempuan pengganggu! Ngapain kau pulang pagi?! Kau tidak
lebih kotor dari seekor kecoa! Kecoa kau! Perempuan kecoa!!
Perempuan
tua
Hentikan,
hentikaaaaannnn!! (berteriak hebat sambil menutup telinga). Kalian, kalian yang
suci tidak berhak menghakimi diriku yang kotor. Aku memang kotor. Aku berasa
hina. Tidak, tidak. Bukan aku yang kotor. Laki-laki itu, banyak laki-laki,
semua laki-laki didunia ini. Brengsek kau, biadab, bangsaaaat!! Kalian semua
menjijikkan! Kalian kotor, kalian busuk, kalian jahat, kalian seenaknya! Kalian
yang kecoa! Laki-laki kecoa! Kecoa laki-laki! (Hening sejenak, terdengar suara
ketukan pintu dari luar. Perempuan menatap jam dinding disamping tempat tidur.
Jam menunjukkan pukul 03.00 dini hari). Siapa pagi-pagi begini? Tidak tahu
waktu. Ngapain bertamu kerumah orang saat jam istirahat begini? (mengusap air
mata, merapikan pakaian agar lebih pantas menghadapi tamu).
Dadang
Selamat
pagi, cantik. Kau masih belum tidur? Untuk pagi ini ayo temani aku! Aku lelah
sekali sayang (mulai mendekat kearah Perempuan).
Perempuan
tua
Berhenti,
berhenti sampai disitu! Awas, kalau kau maju selangkah lagi! Aku tusuk kau
dengan pisau ini! (Perempuan
mencari-cari pisau di meja rias).
Dadang
Ayolah,
kau sombong sekali hari ini. Mentang-mentang kau sudah pindah dari lorong
pelacuranmu lantas kau pikir aku tak bisa mem-booking mu? Aku malah akan lebih sering menghampirimu, sayang! Kita
ini tetanggaan. Ayolah, kau jangan mau main kucing-kucingan denganku! (Dadang
langsung mengejar Perempuan memutari tempat tidur dan kaca rias).
Perempuan
tua
Kau
jangan macam-macam! Sekarang aku bukan seorang pelacur lagi. Aku adalah seorang
penjahit. Malamnya aku hanya mencari penghasilan tambahan dengan menjadi
seorang Pesinden di kampung sebelah. Tidak lebih. Ingat, kang Dadang ini
kampung yang punya peraturan! Jadi kau tidak boleh seenakmu saja memasuki rumah
seorang Perempuan di pagi buta begini. Mana istrimu? Nanti ia akan marah besar
padamu.
Dadang
Kau
jangan sungkan terhadap istriku, cantik. Dia tidak tahu kalau aku sedang main
kerumahmu. Ayo, kemari! (Dadang semakin mempercepat langkahnya, Perempuan
ketakutan sampai akhirnya Perempuan berani menodongkan pisaunya ke leher Dadang.
Keduanya jatuh diatas tempat tidur).
Ratih
(Mendobrak
pintu dengan kasar). Oh, jadi begini Kang pekerjaanmu. Ini yang katamu cari
uang sampai pagi. Ternyata mengincar janda sampai pagi. Jadi benar apa kata Ela?
Dadang
Hei,
Ratih tidakkah kau lihat pisau ini berada dimana? Perempuan ini yang menggodaku
mati-matian sampai aku hampir ia bunuh. Perempuan ini begitu ganas, Ratih.
Tolong aku!
Ela
Oh,
jadi begitu. Tunggu apalagi kamu Ratih? Kamu tidak kalah lebih cantik dari
perempuan pesinden itu. Ayo, serang dia! (Ratih kemudian menjambak rambut
perempuan sampai keduanya berguling di lantai).
Dadang
Sudahlah,
aku tidak apa-apa Ratih. Jika kau berlaku ganas, kau tidak ada bedanya dengan
perempuan jalang itu. Jangan mengotori tanganmu seperti harga diri perempuan
itu. Mari kita pulang! (Dadang menarik
Ratih dan Ela keluar dari rumah Perempuan).
Perempuan
tua
(terisak).
Aku bukan pelacur lagi sekarang. Aku hanya perempuan yang dikotori oleh
tangan-tangan tak bertanggungjawab. Aaah!! Aku benci diriku sendiri. Ia seperti
kecoa yang menjijikkan! (terus berjalan sambil berbicara pada penonton.
Tiba-tiba saja kakinya mengenai kecoa yang sudah mati). Aah, apa itu?! Aku
geli, aku tak sudi menyentuhnya! Kecoa lagi (sambil mengangkat kecoa dengan jijik).
Kau jelek sekali, kecoa! Bentuk tubuhmu aku patahkan saja agar kau terlihat
tidak menjijikkan lagi. Bagaimana? Aku tarik kakimu yang sebelah sini, yah?
Tanganmu juga, yekss (pura-pura muntah). Aku tak sudi. Mati saja kau disana, di
sudut ruangan (melempar badan kecoa jauh-jauh).
Lebih baik aku berhias saja agar aku terlihat cantik dan tidak
menjijikkan (duduk dihadapan kaca rias kemudian berdandan). Ah, tapi buat apa
aku berdandan toh orang-orang yang mengenalku sudah tahu betapa hinanya diriku,
betapa kotornya diriku, betapa kecoanya diriku. Aah, aku benci engkau!
(memukul-mukul Perempuan di dalam cermin. Musik menyanyat hati dimainkan. Lampu redup).
Perempuan
tua
(selesai
keramas, mengeringkan rambutnya yang terurai basah dengan menggunakan handuk di
depan kaca rias. Tiba-tiba saja terdengar tarhim menandakan hari sudah
menjelang subuh. Perempuan tua memotong sayur di tengah panggung). Hari ini aku
akan memasakkan suamiku makan yang paling enak. Kalau dia pulang nanti pasti ia
suka. Aku harus segera menyelesaikan pekerjaan memasakku (tersenyum, kemudian
menangis). Tapi, mana suamiku? Ia tidak pulang sejak kemarin malam. Apa ia
sudah bosan denganku? Perempuan yang pernah digilir dari ranjang ke ranjang.
Apa mungkin ia sedang singgah ke rumah temanku? Apa mungkin dia yang menggilir
ranjang-ranjang? Ah, sudahlah! Aku yakin
dia laki-laki baik. Dia pasti pulang menemuiku karena sudah rindu beberapa hari
tak bertemu (menghibur diri, kemudian menangis kembali). Ah, apa ini? Pisau,
aku takut pisau! Akhhh, aku takut pisau! (berlari, bersembunyi di bawah kolong
tempat tidur. Lampu redup).
Perempuan
muda
(sedang
memotong sayuran dengan pisau. Memakai pakaian daster tiga perempat lututnya.
Merasa tidak nyaman seolah-olah sedang diamaati dari kejauhan). Haduh, sudah
jam segini! (melihat jam dinding. Mempercepat pekerjaannya seolah sedang
ditunggu oleh majikannya. Langkahnya gesit, sesekali mengelapi keringatnya yang
menetes di pelipis perempuan muda. Pun sesekali membenarkan posisi rambutnya
yang terus jatuh mengenai matanya).
Cik
Dolang
(tiba-tiba
memeluk Perempuan muda dari arah belakang)
Perempuan
muda
Tuan,
apa yang sedang Tuan lakukan disini? Lepaskan!
Cik
Dolang
Sst,
diamlah sebentar! Ayo, ikut saya!
Perempuan
muda
Lepas
Tuan atau saya akan teriak! Nyonya akan segera keluar! (berusaha melepaskan
Tuan tapi tidak bisa).
Cik
Dolang
(buru-buru
merebut pisau yang dipegang oleh Perempuan muda kemudian menodongkan pisau ke
arah pinggang Perempuan muda). Silahkan saja kau teriak atau kau akan mampus!
Turuti perintahku atau kau akan bernasib saja seperti kecoa ini! (menginjak
kecoa kecil yang tiba-tiba berada di bawah kaki Cik Dolang. Kecoa itu mati
sampai cairan tubuhnya muncrat. Perempuan muda menelan ludah. Pasrah terhadap
apa yang akan dilakukan Cik Dolang. Perempuan muda menangis. Lampu redup
sebentar disertai teriakan dan isak tangis Perempuan muda kemudian panggung
dalam keadaan terang kembali).
Perempuan
muda
(tergeletak
lemah di atas tempat tidur. Menangis tersedu-sedu dalam posisi meringkuk. Sesekali
mengerang kesakitan).
Gusti,
kenapa aku Kau biarkan dilakukan seperti binatang? Kenapa harus aku yang harus
menanggung semuanya? Kenapa kau tidak pilih orang lain saja? Aku tak tahan bila
harus menanggungnya, Gusti. Jika
ditanya siapa yang paling sakit di bagian ini, akulah orangnya. Aku! Gadis suci
tak berdosa yang hanya memiliki sedikit harapan. Ke negeri Jiran hanya untuk
memperbaiki kehidupan. Tapi apa balasannya? Kau mengajakku bercanda lagi? Iya?
Setelah Kau membuatku menerima takdir sebagai anak seorang tani tua. Cukup
orang tuaku yang tak mampu membiayaiku di Perguruan Tinggi. Tidak perlu tubuhku
Kau hukum dengan hukuman yang paling berat. Aku ini perempuan (terisak kemudian
duduk, merapikan rambutnya yang berantakan).
Duh, Gusti betapa malangnya nasibku
Sudah jatuh tertimpa tangga pula
Sudah miskin hilang harta dijiwa jua
Duh, Gusti salah apa hamba?
Bukankah ini karma?
Aku hanyalah seorang anak tani tua
Mengapa kau mengajakku bercanda?
Bercandamu keterlaluan!
Duh, Gusti aku tak kuat menanggung beban
derita ini
Apa kata ibuku nanti, kata orang tuaku,
saudaraku, orang-orang kampung
Aku kotor Gusti!
Perempuan muda
(mendapati pisau di dibawah selimut). Sial,
pisau ini yang membuatku menuruti semua nafsu lelaki biadab itu! Bangsat,
laki-laki kotor, hina, tak tau malu! Lebih baik aku mati saja jika tahu kau
akan memperlakukan aku seperti ini (menangis sambil merobek bantal hingga
kapuknya bocor dan berantakan). Laki-laki laknat!
Cik Dolang
Hee, apa yang kau katakan barusan? (Cik
Dalang menghampiri Perempuan muda kemudian memperlakukannya dengan sangat
kasar). Kau butuh uang? Ini, ambil! Kau minta berapa akan aku kasih
(menghamburkan uang ke atas tempat tidur). Sudahlah, kau jangan menyesali
nasib! Ini semua rencana Tuhan. Sekarang kau aku pecat jadi tukang memotong
sayur di rumahku. Cepat pulang ke Negerimu sebelum terjadi apa-apa denganmu!
Awas jika kau berani buka mulut di depan Nyonya! (keluar kamar sambil tertawa
girang).
Perempuan muda
Jahat! Kau seenaknya, Tuan! Aku tidak butuh
uangmu. Kenapa kau renggut harga diriku! (menangis kencang tapi tak ada yang
mau mendengar. Rumah adalam keadaan kosong. Lampu redup perlahan).
Perempuan tua
(masih menangis di bawah kolong tempat tidur.
Ketukan pintu dari luar terdengar. Jam masih menunjukkan jam 08.00 pagi dini
hari. Perempuan tua segera menghapus air matanya lalu membukakan pintu).
Lilis
Ibu, masih menerima jahitan? (Perempuan tua
mengangguk). Saya yang tempo hari menitipkan sarung bantal, Bu. Hari ini saya
boleh menitip anak saya sekaligus? Saya mau ke pasar sebentar atuh (tersenyum
kepada anaknya). Imas geulis, disini sebentar ya. Nanti Ibu segera kembali
(Imas mengangguk dengan boneka Barbienya ditangan).
Perempuan
tua
(Menjahit,
Imas dalam keadaan tablo. Perempuan tua mengajak penonton berbicara sebentar).
Semenjak suamiku meninggal aku memutuskan untuk menjahit saja. Entah itu
pakaian lebaran untuk anak tetanggaku, sarung bantal untuk temanku yang baru
menikah lalu berhenti menjadi pekerja seks, atau bahkan dalaman perempuan bekas
teman semasa aku melacur dahulu. Tapi apa? Ah, lelaki itu curang! Dia membuat
aku menikmati sepi. Seharusnya tidak begitu. Ah, tetap saja lelaki itu curang!
Imas
(bermain
boneka Barbie, kemudian memperhatikan). Tante punya cita-cita?
Perempuan
tua
(Tersentak,
menghentikan kegiatan menjahit). Memangnya ada apa, cantik? (Mengelus pipi anak
tetangga, meluruskan pandangan). Semua orang pasti punya mimpi. Tapi tidak semua
orang bisa mewujudkannya (Tersenyum, melanjutkan menjahit).
Imas
Memangnya
cita-cita tante apa?
Perempuan
tua
Cita-cita
tante adalah tidak sendiri. Tante benci sepi, sendiri, sunyi, hening. Tante
takut diam (Mengelus kepala anak tetangga). Memangnya cita-cita kamu apa,
cantik?
Imas
Aku
pengin kayak Barbie, Tante. Punya pangeran. Kata mama pangeran akan datang.
Benar ya, Tante? Memangnya pangeran aku siapa?
Perempuan
tua
(Tertawa)
nanti kalau kamu sudah besar, pangeran kamu pasti datang.
Imas
Mama
pangerannya Papa. Aku pangerannya nanti kalau udah besar datang. Kalau tante
pangerannya siapa?
Perempuan
tua
(Tertusuk
jarum) aah! (Bela khawatir, lampu redup).
Perempuan
tua
Dan
sampai saat ini aku tak punya pangeran. Mungkin begitulah nasib para pelacur.
Tak ada pangeran untuk dirinya. Sepi. Sendiri. Kalau dibilang salah seorang
lelaki hidung belang yang pernah meniduri kami adalah pangeran, lalu tuan putri
mana yang berhasil menggelapkan mata pangeran dari istrinya? Tidakkah tuan
putri itu hanyalah selir? (Batuk-batuk. Lampu
redup).
Perempuan
tua
Dengan
kebiadabannya, aku malu membawa pulang badanku yang tak lagi sendiri. Aku
habiskan saja kekesalanku di sebuah lorong pelacuran. Dari jerih payahku
disana, aku kirimkan uang-uang itu pada keluargaku di Lombok. Mereka pikir aku
baik-baik saja sebelum sempat aku dikabarkan sebagai TKW yang mati bunuh diri
di negeri Jiran (terdengar suara orang membacakan berita).
Ditemukan seorang TKW di negeri Jiran mati
bunuh diri karena frustasi setelah diperkosa oleh majikannya. Korban berasal
dari Indonesia inisial SU, usia 16 tahun.
Perempuan
tua
Disana
aku merasa keluargaku terombang-ambing. Indonesia yang heboh dengan kabar yang
simpang siur tapi Negeriku tetap bangga dengan pemberitaan-pemberitaan yang
sedemikian harganya, seharga bawang yang dijual per ons di sebuah pasar tradisional. Fotoku terpajang di beberapa
stasiun televisi sampai berita itu terdengar oleh keluargaku di Lombok. Karena
jaman itu aku masih belum memiliki telepon genggam maka, tak ada penjelasan-penjelasan
tentang benar yang bisa aku jabarkan. Kabar salah itu berhasil membunuh seorang
tani tua kesayanganku (musik sedih dimainkan, Perempuan tua meratapi kematian Ayahnya.
Lagu lirih mendayu-dayu).
Hamparan padi
pelipur
hati
Sejuknya angin
pelipur
lara
Hijaunya menggambarkan tani
tua yang gagah
Kemuningnya menggambarkan gadis
jelita,
Anak tani
tua yang diharap-harap
Agar esok tak
bertemu
panas
lagi
Belum sempat
Hijau
bertemu
Kemuning
Layu pulalah
Hijau
diterpa
badai
Angin Lombok bermandikan berita murahan
Sawah menangis
dilanda
Hujan
Pun kemuning berhati lara
Perempuan
tua
Yah,
ayahku meninggal akibat pemberitaan-pemberitaan kabur para wartawan. Padahal
mereka tak berhasil membawa mayat yang mirip dengan wajahku. Ayahku yang kolot
dengan cepat menyimpulkan dan dengan cepat pula kudengar berita kematian
laki-laki hebat yang berusaha mati-matian membahagiakan aku sampai hari itu
(meneteskan air mata, lampu redup).
Beginikah negeriku yang nestapa?
Habis lara di negeri orang
Dihentam jua aku dengan luka
Negeriku bagai pedang rasa belati
Menghunus jiwaku yang sedang patah-patahnya
Sudahkah Tuhan siapkan hatiku untuk kuat?
Atau Tuhan sedang bahagia atas lara
yang tak kunjung menemui dera
Astagfirullah, ketahuilah bahwa
hukuman ini tidak mengenai diriku seorang
Laknat aku yang kotor ini, Tuhan!
Perempuan
muda
(di
sudut tempat tidur,mengelus perutnya yang tengah membesar. Tubuhnya dipenuhi
dengan keringat. Napasnya ngos-ngosan. (Seorang lelaki berbadan tegap memasuki
ruangan sambil membawakan air putih di tangan kanannya). Terimakasih.
Polisi
Sudah,
tenanglah! Minumlah air ini. Aku akan menyelamatkanmu dari pengejaran
teman-temanku. Kita sudah tidak berada di hutan. Sudah tidak bersembunyi di
semak-semak lagi. Aku tidak dengan senjataku lagi. Lihat! Kau aman disini. Ini
rumahku. Kau boleh beristirahat semaumu disini.
Perempuan
muda
Bolehkah
aku bertanya padamu? (Polisi mengangguk). Kenapa kau selamatkan aku? Aku
hanyalah orang-orang yang melanggar aturan hukum. Aku pemberontak pada Negara.
Untuk pulang ke Indonesia aku tak punya passpor.
Aku hanya melewati jalur illegal. Aku
mengikuti kapal kecil bersama teman-temanku
lalu berpencar di setiap sudut pelabuhan tikus di kawasan perairan Riau ini.
Kenapa kau tak membawakan penjara kehadapanku? Bukankah teman-temanmu juga
memburuku seperti anda, wahai laki-laki dengan lambang Garuda di dadanya? Apa
motivasimu menolongku?
Polisi
Entah
mengapa kerling matamu membuat pandanganku berbeda menilaimu. Kau bukan TKW
sembarangan bukan?
Perempuan
muda
Aku
tak punya apa-apa. Aku tak sebaik yang kau pikirkan, Yang Mulia. Lantas berikan
aku alasan yang sedikit lebih masuk akal untuk aku bawa pulang.
Polisi
Maksudku
bukan begitu, Nona. Tidak mungkin aku meloloskan orang dengan mudahnya. Kau orang
pertama yang melakukan itu. Aku ingin mengenalmu lebih jauh, sudikah engkau
Nona? Maafkan atas gelapnya mataku , aku mengkhinati negeriku yang kata orang subur makmur gemah ripah loh jinawi
(terdengar musik khas beberapa daerah di Indonesia beserta pembacaan Puisi
tentang kekaguman pada Indonesia. Lampu redup-terang-redup-terang).
Indonesia
beserta jajaran pulau-pulaunya,
aku
mencintaimu.
Tari Samin,
Suku Dayak,
Budaya Bali,
Suku Sasak,
Batik Solo, Zapin
Riau,
Soto
Lamongan, Suku Malindau.
Subhanallah,
indah sekali!
Ranu Kumbolo,
surga Rinjani,
Ada Kabayan, jua
Raja Ampat,
Kitab Qur’an,
pun Nasrani,
Perempuan
cantik dan bermartabat.
Indah sekali
pesonamu!
Begitulah cara
Tuhan
menurunkan setetes Surga
di tanah
Indonesia.
Allahu Akbar!
Perempuan
muda
Janganlah
kau memperdayai perempuan bodoh yang tak bisa menjaga
harta dirinya. Menjauhlah! (mendorong tubuh laki-laki tegap itu perlahan).
Polisi
Aku
akan menikahimu, bagaimana?
Perempuan
muda
(tertawa
sejenak, lalu serius). Laki-laki dimana saja yaa sama saja. Tidak ada bedanya.
Seperti kecoa pada jeruji-jeruji penjara. Berani sekali kau mengambil resiko
untuk mendekatiku. Kau punya apa?Apa yang bisa kau berikan padaku jika kau
menikahi diriku? Bukankah kau juga sedang mati-matian mencari uang untuk
mengganti bayaran atas profesimu yang kau beli tempo lalu? (bertepuk tangan,
seolah kagum pada Polisi padahal sebenarnya mengejek pekerjaan Polisi yang mana
profesi tersebut bisa dibeli seenaknya dengan uang oleh orang-orang kaya).
Negeri yang lucu! Sudahlah, aku bilang menjauh! (menegaskan kata-katanya
barusan pada lelaki itu).
Polisi
Baiklah,
aku tidak akan memaksamu. Ini kartu namaku. Kau bisa mencariku kapan saja kau
membutuhkannya. Jika kau berurusan dengan Negara, kau juga bisa hubungi aku.
Akan aku bebaskan kau terhadap hukum jenis apapun.
Perempuan
muda
(pergi
meninggalkan ruangan segiempat, tempat Polisi mengamankan Perempuan muda dari
aturan hukum Negara ini).
Polisi
Tunggu,
ambillah ini! Aku punya sedikit untukmu (memberikan uang lima puluh ribu
Indonesia per lembarnya).
Perempuan
muda
Apa
ini? Kau menyogokku? Ketahuilah, aku ini perempuan. Tidak semuanya bisa dibeli
dengan uang. Kasar sekali kau menyampaikan ini padaku. Aku tidak suka caramu!
Harga diriku tak bisa ditukar dengan apapun, bahkan istana sekalipun!
(Perempuan muda mulai mengambil nada tinggi. Perasaanya robek lagi begitu tahu
perempuan dapat diukur dengan nilai rupiah di Negeri ini).
Polisi
Sudahlah, aku tak bermaksud seperti itu.
Maafkan aku jika melukai hatimu. Aku hanya ingin kau pulang ke daerahmu dengan
uang yang cukup dan kendaraan yang layak. Ambillah, sungguh jangan berburuk
sangka pada tiap lelaki yang kau temui. Siapa tahu mereka adalah tulang rusuk
yang kau temukan di perjalanan (Perempuan muda berpikir kembali).
Perempuan muda
Baiklah, ini aku ambil sebagai tanda aku menghargai dirimu. Terimakasih. Maafkan aku yang kasar ini
(mengemasi tasnya lalu berlalu. Lampu
redup).
Perempuan setengah baya
(Lampu sedikit terang di atas panggung.
Perempuan setengah baya dan beberapa lelaki melakukan teaterikal atas kekaguman
banyak lelaki terhadap Perempuan setengah baya. Mula-mula Perempuan setengah
baya berlari dari sudut panggung ke sudut panggung yang lain sambil menebarkan
kembang. Para lelaki mengikuti. Kemudian melakukan tarian dimana para lelaki
menyembah dan tersanjung atas kecantikan Perempuan setengah baya. Perempuan
setengah baya dilingkari kemudian diangkat tinggi-tinggi. Salah seorang dari
lelaki menariknya keluar lingkaran. Geber putih diturunkan. Panggung berubah, memainkan
siluet. Keduanya melakukan tarian diakhiri dengan lelaki menabur
berlembar-lembar uang Indonesia di hadapan Perempuan setengah baya. Lelaki
menarik kain yang diikat di pinggang Perempuan setengah baya lalu Perempuan
setengah baya menyambutnya dan menarik lelaki keluar panggung diikuti para
lelaki lainnya setelah pembacaan Klosa selesai).
Kerling
mataku, senyumku
Kubiarkan para lelaki terapung-apung di atasnya.
Mereka seperti sekumpulan abdi yang berbaris dan memberi
sembah,
lalu menyerah ke hadapanku membawa berlembar-lembar uang
rupiah.
Aku membawa mereka ketubuhku satu persatu,
Dari malam ke malam berikutnya
Semua dari mereka menyayangi diriku
Jika kecantikan adalah tentang anugerah
dan kutukan, maka aku bukanlah kutukan itu.
Kecantikan telah membuat para lelaki dan semua orang
menjadi tawanan
dan taklukkanku.
Perempuan setengah baya
(bergincu tebal, duduk di tepi tempat tidur dengan heels
sepuluh sentimeter. Sesekali menghisap rokoknya. Menunggu tamu sampai terdengar
suara lelaki bertubuh kekar memasuki pintu lalu cepat-cepat menutupnya). Hah,
lama sekali anda Tuan? Saya sudah menunggu anda sedari tadi. Kau tidak salah
kamar?
Lelaki dewasa
Tidak, tadi aku hanya berbincang-bincang dengan Mami
saja. Katanya kau bukan orang asli Bandung ya? Kau asli mana?
Perempuan setengah baya
Aku asli Lombok. Kau sendiri? (masih terus menghisap
rokok).
Lelaki dewasa
(bercerita sambil melepas sepatu, dasi, dan
kerahnya). Aku asli Bandung. Hanya saja aku pernah bertugas untuk menjaga hutan
belantara yang ada di Riau, tempat TKW-TKW illegal menembus Pelabuhan tikus
yang ada disana.
Perempuan setengah baya
(tercengang, mengingat peristiwa yang
lalu-lalu. Kemudian cepat-cepat
membalikkan badan). Kau?
Lelaki dewasa
Loh, kamu? Bagaimana ceritanya kau bisa sampai
disini? Aku menunggu kau menghubungiku selama ini. Tapi kau tak pernah menghubungiku.
Tuhan hebat sekali! Kakiku mengantarkanku padamu. Apa kabar kamu?
Perempuan setengah baya
(menghisap puntung rokok yang terakhir. Mematikan
apinya dengan cara menginjaknya. Sedang mempersiapkan mental dan kata-kata
untuk menghadapi laki-laki
dengan lambang Garuda di dadanya yang ia temui tempo lalu). Sudahlah, kau jangann banyak bicara Tuan!
Jangan banyak bertanya! Tugasku hanya melayanimu malam ini lalu kau boleh
berlalu setelah mendapatkan kepuasan dariku. Bisakah kau bertindak professional seperti aku yang tidak
pernah membatasi lambang Garuda di dadamu untuk menyentuhku?
Laki-laki dewasa
Aku salah lagi? Harus seberapa sering kau
membantah ucapanku? Sudahlah, kau jangan berlaku kasar seperti tempo lalu!
Malam ini kau milikku sampai pagi. Ingatlah, bahwa nafsu sekalipun tidak
memandang profesi. Aku hanya penasaran. Bagaimana ceritanya kau yang membenci
lelaki malah sering melayani banyak lelaki?
Perempuan setengah baya
(menangis,
entah mengapa emosinya terluap semua). Keluargaku sudah mati-matian menjual
sawah untuk keberangkatanku ke negeri Jiran.
Aku tak sanggup menjawab pengharapan-pengharapan mereka dengan kondisi
tubuhku yang berbadan dua kala itu. Aku ingin mati saja rasanya ketika itu. Aku
tak punya rumah untuk pulang. Lalu aku habiskan sekali tubuhku yang kotor ini
di lorong pelacuran yang hina ini. Uangnya aku kirimkan sebagai tanda aku masih
bekerja di negeri Jiran dalam kondisi yang baik. Tidak kurang satu apapun
(Lelaki dewasa memeluk Perempuan setengah baya dengat erat).
Lelaki
dewasa
Aku
mengerti bagaimana perasaanmu. Untuk malam ini, aku tidak akan menyakitimu.
Tapi izinkan aku agar boleh tetap tidur berdampingan denganmu?
Perempuan
setengah baya
Terserahmu,
asal itu tetap kesukaanmu. Tapi apakah kau tidak menyanyangkan uangmu yang
sudah kau setorkan pada Mami?
Lelaki
dewasa
Sudahlah,
itu tidak menjadi penting lagi bagiku. Bolehkan aku bertanya kembali?
(merebahkan tubuh Perempuan setengah baya di atas tempat tidur dengan lembut.
Perempuan setengah baya hanya menjawabnya dengan anggukan kepala saja). Anakmu
yang kau kandung tempo lalu sedang berada dimana sekarang? (lampu redup).
Perempuan
setengah baya
(terisak sambil berjalan ke tengah panggung. Lighting fokus pada Perempuan muda yang sedang berada di atas
tempat tidur. Melakukan gerakan
seolah-olah sedang menghadapi kematian bayinya yang baru lahir).
Tak lelo lelo lelo ledung
Cep meneng ojo pijer nangis
Anakku sing ayu rupane
Yen nangis ndak ilang ayune
Tak gadang biso urip mulyo
Dadiyo wanito utomo
Ngluhurake asmane wong tuwo
Dadiyo pandekare bongso
(Tiba-tiba
saja Lelaki dewasa mulai mendekati Perempuan setengah baya. Kemudian lampu redup).
Perempuan
tua
(Duduk
di sudut tempat tidur. Bersolek, menggunakan bedak pupur, tersenyum). Begitulah
lelaki. Mana mungkin ia dapat menahan birahi kelaki-lakiannya itu saat hanya
berdua-duaan dengan seorang perempuan lacur yang jelas-jelas adalah haknya
karena sudah dibayar. Kita adalah keindahan sekaligus kejahatan. Sampai pada
suatu hari ia menikahi aku dan aku berhenti menjadi perkerja seks. Nyaman
sekali waktu itu aku rasakan. Seperti ada suara musik Jazz yang dimainkan di surga Ranukumbolo (lampu redup).
Lelaki
dewasa
Aku
akan segera menikahimu. Bagaimana? Masalah istriku, biar aku yang mengatur.
Perempuan
setengah baya
(Hanya
mengangguk dengan bibirnya yang sensual, pakaiannya sexy).
Lelaki
dewasa
Eit,
tapi kau harus berjanji. Kau harus menghentikan pekerjaanmu ini! (Merangkul
pundak perempuan setengah baya).
Perempuan setengah baya
Memangnya
kenapa? Kau merasa bahwa pekerjaanku hina? (Tertawa sambil menyalakan rokok
Lelaki dewasa). Kau juga melakukan hal yang hina, bukan? Buktinya kau menemukan
aku di tempat hina seperti ini, di lorong pelacuran.
Lelaki
dewasa
Sst,
janganlah kau berkata begitu (Mencium aroma tubuh perempuan muda). Kau cantik!
Sayang kalau terlalu lama di tempat ini. Bahkan berlianpun akan lusuh jika
terlalu lama di pajang. Banyak debu-debu yang mencicipinya (Tersenyum.
Begitupulalah Perempuan setengah baya. Keduanya bersulang. Lampu redup).
BABAK II
Perempuan
tua
Aku
menemukan Tuhan disana. Pun Tuhan mengirimkan cinta ketempat lorong pelacuran,
itu semua atas kehendak Tuhan bukan? Aku tak jadi memarahi Tuhan. Gusti
Pangeran terlalu bijaksana untuk aku marahi. Ketahuilah, hatiku senang sekali ketika
aku melewati beberapa serangkaian upacara adat suku Sunda. Aku suka kendangnya,
aku suka tembangnya, aku suka orangnya. Namaku disebutkan dalam ijab qabul, aku
disahkan menjadi istri sah dari akang-akang Sunda yang berprofesi menjadi
seorang Polisi. Aku berjanji akan menemaninya kemanapun ia bertugas. Dia
berhasil menjadikan aku Perempuan yang terhormat. Aku mencintaimu Akang (lampu redup).
Perempuan
setengah baya
(Mengenakan
pakaian adat khas Sunda. Bersanding dengan Lelaki dewasa diiringi beberapa
orang di belakangnya. Menuju ketengah panggung kemudian keluar setelah
pembacaan tembang Sunda).
Istri : Saha
eta anu kumawani
Taya tata taya
bemakrama
Ketrak- ketrok
kana panto
Laki-laki : Geuning
bet jadi kitu
Api-api kawas nu
pangling
Apan ieu teh
engkang
Hayang geura
tepung
Tambah teu kuat
ku era
Da diluar seueur
tamu nu ningali
Istri : Euleuh
karah panutan
Istri
tua
Jadi
kau, perempuan jalang yang berhasil merebut suami orang! Cuih, tak sudi aku
serumah denganmu.
Perempuan
setengah baya
Maafkan
aku merebut suamimu. Kau tidak tahu aku siapa. Tolong hargai aku. Aku akan
sadar diri dengan porsi kita masing-masing. Akang bilang dia akan adil.
Istri
tua
Akh,
kau percaya mulut lelaki! Dulu dia berkata tidak akan memaduku. Tapi apa
kenyataannya? Kau menghancurkan semuanya. Kau datang seenaknya dan tanpa
bersalah kau melukai hati anak-anakku.
Perempuan
setengah baya
Maafkan
aku. Sungguh, aku tak bermaksud seperti itu.
Aku juga mencintai Akang. Apa salahnya kau berbagi kebahagiaan denganku?
Istri
tua
Laknat
kau! (menganiaya lengan Perempuan setengah baya dengan setrika. Perempuan
setengah baya mengerang kesakitan).
Lelaki
dewasa
Hei,
apa yang kau lakukan?!! (Lelaki dewasa khawatir terhadap Perempuan setengah
baya lalu cepat-cepat memisahkan keduanya dan mengobati luka istri keduanya. Lampu redup).
Laki-laki
dewasa
(Di
atas tempat tidur) mengapa kau tak pernah menceritakan ini kepadaku? Dia sudah
berbuat apa saja denganmu?
Perempuan
setengah baya
Jika
cinta adalah kematian yang lembut, biarkan aku yang menanggungnya Tuan.
Sudahlah, kau jangan mengkhawatirkan aku. Masih banyak yang perlu kau pikirkan.
Bela Negeramu, bukan aku yang mesti kau bela (Lelaki dewasa merangkul Perempuan
setengah baya erat).
Lelaki
dewasa
Jujur,
aku mencintaimu lebih dari istri pertamaku. Maka dari itu aku berani membawamu
ke dalam kehidupanku. Tapi jika kau suruh aku memilih, aku bingung! Aku tak
bisa melepas keduanya. Aku ini pengecut! (mengambil pisau di atas kaca rias).
Bunuhlah aku atas kebimbanganku sendiri agar kau tidak merasakan sakit-sakit
itu lagi menembus kulitmu. Ambillah, tusuk aku dari bagian mana yang paling kau
suka! (menyerahkan pisau ke tangan Perempuan setengah baya).
Perempuan
setengah baya
Baiklah,
aku benci kau yang bimbang. Aku bunuh saja dikau Tuan (memainkan pisau di pinggang
suaminya). Akh, aku tidak bisa! Daripada harus membunuhmu, lebih baik aku kau
nomorduakan saja (menangis).
Istri
tua
(memasuki
kamar dengan ganas lalu menusuk Akang dari arah belakang. Akang berteriak
hebat. Lampu redup).
Perempuan
tua
Tuhan
selalu saja ingin mengajakku bercanda. Tak lama itu, hidupku berubah seratus
delapan puluh derajat. Harta warisan suamiku semuanya jatuh ke tangan istri
tuanya. Aku bekerja sebagai penjahit di siang hari dan sebagai pesinden di malam
hari. Tapi tetap saja, sistem labbeling
terhadap diriku sebagai seorang pelacur masih saja dipakai oleh orang-orang
Indonesia. Ah, kampungan, norak! (sedang menjahit kain Batik dan terdengar
suara adzan Magrib). Tiba-tiba saja aku rindu kampung halamanku, aku rindu
rumahku, aku rindu ibuku (sambil mengelus-elus kain Batik). Sedang apa ibuku?
Apa dia masih seperti dahulu? Mengenakan atasan sederhana dengan bawahan kain
Batik khas tanahku, Lombok. Motifnya takkan pernah kau temukan dimanapun.
Biasanya bermotif cicak, kadal, katak, serta binatang reptil lainnya. Dia
begitu cantik! Perempuan Lombok yang sangat menjaga kesucian marwahnya
(terisak). Mungkin bedanya ia sudah tua sekarang. Mungkin saja keriputnya
bertambah. Garis-garis di bawah matanya, kelopaknya. Jika adzan begini beliau
sering berkata: Sholatlah nak, sebentar
saja! (adzan Magrib selesai berkumandang).
Sore-sore itu indah sekali!
Senja di pelabuhan tua
Tak mengalahkan senja
di tanah Lombok
Ufuknya ibarat lelaki yang
merindukan senja
Perempuan-perempuan cantik
di tanah Lombok
Kemilaunya memancarkan
Keindahan,
tanahnya, ladangnya, langitnya
Tuhan memang adil sungguh!
Perempuan
tua
Lalu
aku biasanya langsung ke ladang. Mengambil wudhu di kendi-kendi yang sederhana.
Aku melihat ufuknya yang semakin memerah. Cantik sekali! Seperti perempuan
Lombok yang terkenal karena kecantikan parasnya. Menggambarkan Indonesia yang
indah tiada tandingannya. Biasanya kalau aku sholat hanya untuk di lihat oleh
Ibu, beliau berkata lagi:
Jadi
dirimu apa adanya. Walaupun orang-orang menilaimu tidak baik, Tuhan memandang umatnya dengan caranya
sendiri. Jadi tak perlu penilaian dari umat lainnya. Tuhan tidak tidur, ia Maha
Melihat. (terdengar suara orang mengetuk pintu).
Ujang
Neng,
sudah waktunya. Ayo, ditunggu di kampung sebelah. Penontonnya sudah ramai atuh.
Pengin cepat-cepat bertemu eneng euy. Mangga, saya tunggu diluar.
Perempuan
tua
(Perempuan
tua tersenyum. Kemudian menutup kembali pintu rumah. Perempuan tua melihat jam dinding.
Hari menjelang malam. Ia bersolek di depan kaca rias). Aku harus segera bersiap-siap.
Sebentar lagi aku akan menghibur mereka. Aku hanya akan melakukan apa yang aku
suka. Kenikmatanku pada tembang Sunda mengingatkan aku betapa gilanya cintaku
pada suamiku sampai-sampai aku dibutakan kalau ia sudah beristri. Terserah apa
kata orang. Mereka tidak memberiku makan sepeserpun. Mata-mata tetangga yang
biasa mengintaiku saat aku pulang di pagi buta bukan hanya satu atau dua
pasang. Aku tahu lelaki-lelaki itu tak hanya menikam aku lewat
pemikiran-pemikiran dangkal yang mereka punya, mereka juga menikmati keindahan
tubuhku. Percayalah, mereka menelanjangiku lewat pikiran kotor
mereka! Seperti kecoa. Laki-laki kecoa! Kecoa laki-laki! (Perempuan tua mengambil tasnya lalu berlalu
menuju pinggir panggung. Lampu redup).
Pangapunten
kasadaya
Kanu sami araya
Rehna bade nyawer
heula
Ngedalkeun eusi
werdaya
Dangukeun ieu
piwulang
Tawis nu
mikamelang
Teu pisan dek
kumalancang
Megatan ngahalang-halang
Bisina tacan
kaharti
Tengetkeun masing
rastiti
Ucap lampah
ati-ati
Kudu silih beuli
ati
Lampah ulah
pasalia
Singalap hayang
waluya
Upama pakiya-kiya
Ahirna matak
pasea
S E L E S A I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar