DOT SUSU
Karya : Anisa Puspaningrum
BABAK 1
Panggung gelap, tiba-tiba ada cahaya
senter dari dua arah yang pojok kiri dan pojok kanan, menyorot tepat ke wajah
seorang lelaki yang tubuhnya diikat oleh tali tampar dan berusaha
melepaskannya, setelah ±10 detik lampu senter mati.
Dua lampu senter menyala kembali, di
wajah orang yang berbeda dengan tubuh yang juga terikat oleh tali tampar, tapi
kali ji wajah itu tampak tenang menatap ke arah depan, setelah ±10 detik lampu
senter mati.
Dua kejadian itu berlangsung secara
bergantian selama beberapa kali dengan tempo yang semakin cepat.
BABAK 2
Lampu merah dan biru menyala secara
perlahan menyorot sebuah bangku panjang, yang terletak di tengah dan ujung
belakang panggung, terdapat sebuah bingkai kayu tanpa ukiran menggantung
sedikit lebih di depannya. Terdapat seorang kakek yang sedang duduk sambil
tertidur dan sebuah lonceng di sebelahnya.
Tiba-tiba, kakek itu mengiggau.
Kakek :
Sudah, biarkan saja seperti sedia
kala atau kau bersiap untuk berjuang.
Perlahan-lahan lampu menerangi
seluruh area panggung. Di sisi kiri panggung terdapat sebuah meja dan kursi
guru, dan di sisi kanan panggung terdapat bangku-bangku para murid.
Guru :
Anak-anak apakah pagi ini saya sudah
terlihat seperti layaknya seorang guru ?
Murid-murid :
Sudaaah, Bu !
Guru :
Baiklah kalau begitu, saya akan
memulai pelajarannya.
Murid 1 :
Bu, apa kita tidak perlu memberikan
ucapan, “Selamaaat Pagi Bu Guru !”
Murid 2 :
Iya, benar. Kemudian Ibu guru
menjawab, “Selamat pagi juga murid-murid !”
Murid 3 :
Lalu, Ibu menyuruh ketua kelas untuk
memimpin doa bersama.
Murid 4 :
Dilanjut dengan seorang volunteer
untuk maju ke depan mengucapkan Pancasila yang diikuti dengan murid-murid satu
kelas.
Murid 5 :
Lantas, ibu menyuruh kami duduk dan mengucapkan,
“Keluarkan buku bla bla bla kalian dan buka halaman sekian, sekian, sekian.”
Guru :
Hahaha, kenapa kalian kuno sekali
murid-muridku ? Itu adalah kelas zaman dahulu, waktu ibu masih mengenakan
seragam yang berwarna seperti bendera terbalik itu. (Mengubah muka dan nada
bicara dengan sangat serius) Sekarang, mari kita buat kelas baru !
Murid-murid :
Haaaah ? Kelas baru ?
Murid 2 :
Eiiittsss, tunggu sebentar Bu !
Kalau itu dianggap kuno dan Ibu bilang zaman dahulu, lalu kenapa...
Murid 5 :
Kenapa pak Budi masih ada di sekolah
ini untuk mengajar sejarah ?
Guru :
Yaaaah, itu kan hanya untuk sekedar
kalian tahu saja tentang masa lalu bangsa kalian ini.
Murid 3 :
(Sombong) Iya, teman-teman, biar
kita tahu saja. (Semua murid-murid menatapnya dengan wajah tidak setuju).
(Salah tingkah dan merasa seperti ketakutan, mencoba menyelamatkan diri) Emmmm,
kalau sudah tahu sejarah, lantas apa yang harus kita lakukan Bu?
Murid-murid :
(Menoleh ke arah guru)
Guru :
Oh, itu..., ituuu..., ah, mungkin
murid-murid yang lain ada yang tahu jawabannya ?
Murid 4 :
Saya, Bu ! Saya, Bu !
Guru :
Oh iya, silakan !
Murid 4 :
Agar nanti saat ulangan, kita bisa
menjawab soal-soal dari pak Budi dengan benar.
Murid-murid :
Haaaah ?
Guru :
Mungkin ada yang lain murid-murid ?
Murid 1 :
Oh, saya tahu. Agar kita bisa
mencintai negeri kita.
Murid 5 :
Menjadi bangsa yang berbudaya
Murid 2 :
Menjadi bangsa yang besar
Murid 3 :
Karena pepatah mengatakan...
Murid 4 :
Bangsa yang besar adalah...
Guru :
(Dengan lantang) Bangsa yang
menghargai jasa-jasa para pahlawannya.
Tiba-tiba semua diam, dan para
murid-murid menatap ke arah Ibu Guru
Guru :
(seperti salah tingkah) Baiklah !
Duduk kembali anak-anak !
Murid-murid duduk kembali dengan
mata menatap tajam pada Ibu Guru, kecuali murid 5 masih tetap berdiri
Guru :
Kenapa kamu masih berdiri ? Ayo
duduk !
Murid 5 :
Kalau kita sudah tau sejaraaaah.....
(sambil tersenyum)
Guru :
Jangan dimulai lagi !
Murid 5 :
Kalau kita sudah tau sejaraaah....
Murid 4 :
Kita akan dianggap...
Murid 3 :
Sebagai warga negara yang baik
Murid 1 :
Karena telah mendukung program
pemerintah
Murid 2 :
Untuk melestarikan budaya Indonesia
Murid 3 :
Budaya politik
Murid 4 :
Budaya bersosialisasi
Murid 1 :
Budaya demokrasi
Murid 2 :
Budaya korupsi
Murid 5 :
Kolusi dan Nepotisme, yang disingkat
menjadi
Murid 4 :
PKN
(Semuanya terkejut)
Murid 3 :
Heh, yang bener iku KKN bukan PKN.
Murid 4 :
Halah, cuman beda tipis, memang apa
salahnya ?
Murid 3 :
Ya jelas salah lah, PKN itu kepanjangannya
Pendidikan Kolusi dan Nepotisme.
Murid 1 :
Eeeee, Pendidikan Kewarganegaraan.
Dasar mengsle.
Guru :
Sudah, sudah ! Cukup anak-anak !
Tidak ingat, tadi ibu suruh duduk ? (sedikit agak membentak)
Murid –murid :
(kembali duduk dengan kepala
tertunduk) Iya, Bu !
Guru :
Baik, kita lanjut dengan...
Murid 3 :
Isi – isian, mbak uuk minta huruf
apa ? (menyanyi lagu permainan kotak pos)
Murid 1, 2, 4, dan 5 :
Beeee !
Guru :
B ? Biologiiii....
Murid-murid :
Yeeee, Bu guru benar...
Guru :
Oke, kita akan belajar biologi,
yaitu tentang rantai makanan.
Murid 4 :
Kok rantai di makan bu ?
Murid 1 :
Apa negara kita bukan negara agraris
lagi, karena para petani sudah kehabisan lahan untuk bercocok tanam, menanam
padi, jagung, buah dan sayur-mayur lainnya Bu ?
Murid 2 :
Apa negara kita sudah bukan negara
maritim lagi yang bisa menghasilkan
berbagai jenis ikan laut?
Murid 3 :
Atau ayam – ayam di Indonesia sudah
berhenti bertelur ?
Murid 4 :
Atau mungkin sapi – sapi perah sudah
tidak bisa menghasilkan susu lagi ?
Murid 5 :
Oooh, tidak ! Bu Guru lihat,
sepertinya aku sudah mulai terkena busung lapar. Bagaimana ini Bu?
Tiba-tiba para murid berlagak
seperti zombie yang siap untuk saling memangsa dan akan menemui ajal karena
kelaparan.
Guru :
Tenang anak-anak, tenang ! rantai
makanan ini bukan berarti kita makan rantai.
Murid-murid :
(Kembali normal ) Terus, Bu ?
Guru :
Maksudnya ini adalah siklus makhluk
hidup dalam proses memakan dan dimakan untuk kelangsungan ekosistem dalam
bertahan hidup.
Murid-murid :
Oooh, begitu !
Guru :
Baik, contoh rantai makanan. Padi
dimakan tikus, tikus...
Murid 5 :
Ditangkap KPK
Murid – murid :
Hahaha
Guru :
Murid-murid, ini ruang kelas. Bukan
halaman koran yang tiap pagi memuat berita tentang korupsi. Baiklah, kita buat contoh
yang lain, daun dimakan ulat, ulat dimakan...
Murid – murid :
Burung pipit.
Guru :
Burung pipit dimakan...
Murid – murid :
Kucing
Guru :
Kucing mati diuraikan oleh
Murid – murid :
Bakteri pengurai
Guru :
Pintar sekali kalian, kita coba
sekali lagi. Rumput dimakan...
Murid – murid :
Kelinci
Guru :
Kelinci dimakan...
Murid – murid:
Ular
Guru :
Ular dima....
Murid 1 :
Aaaaaaaaaaaa, tidaaaak !!!
(berteriak histeris)
(semua mentapa ke arah murid 1)
Murid 5 :
Hei, kau tidak apa-apa ?
Murid 4 :
Iya, membuat kita kaget saja.
Murid 1 :
(menghampiri gurunya) Bu, kita tidak
bisa membiarkan kelinci yang lucu itu mati dimakan oleh ular yang jahat.
Guru :
(Menghela nafas) yaaah, mau
bagaimana lagi ? ini kan juga namanya rantai makanan.
Murid 2 :
Tapi, dalam pelajaran pendidikan
kewarganegaraan yang kami terima, kami diajarkan untuk bergotong-royong saling
tolong-menolong dan bertenggang rasa, menghargai serta menghormati sesama
makhluk hidup.
Guru :
Nah, bagus dong, kalau kalian ingin
menghargai makhluk hidup lainnya, seharusnya kalian juga perlu menghargai ular
itu sebagai makhluk hidup yang juga membutuhkan makanan untuk bertahan hidup.
Murid 3 :
Iya, itu jawaban pasa dan tepat
sekali. Saya setuju dengan Bu guru ! ( Dengan lagak sok pintar dan bijaksana)
Lagi-lagi semua murid menatapnya
dengan jengkel.
Murid 1 :
Jadi maksud ibu, kami harus
membiarkan makhluk lemah itu menjadi mangsa makhluk yang lebih kuat ?
Guru :
(Berpikir) Emmm, ya..., iya !
Murid 5 :
Lantas dimana hati nurani kita
sebagai manusia yang katanya dikaruniai akal dan pikiran, yang mampu membedakan
mana baik dan mana buruk ?
Murid 4 :
Iya, Bu, mana yang harus kita pilih
? Menjalani kodrat sebagai mkhluk sosial yang saling menolong atau bersikap
acuh dengan menganggapnya sebagai hukum alam ?
Guru :
Emmm (mondar-mandir sambil
berpikir).
Jadi begini, kita tidak bisa memilih
salah satu. Semua ilmu pengetahuan itu benardan tujuannya baik, tidak ada ilmu
pengetahuan yang bermaksud untuk menjerumuskan kalian dalam kesalahan. Jadi,
ibu minta kalian ikuti saja apa yang bapak – ibu guru minta, dan tidak usah
terlalu neko-neko.
Murid 2 :
Waaah, tidak bisa begitu, Bu !
Bukannya Kementerian Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi telah sering menggonta-ganti kurikulum
pendidikan, untuk menuntut para murid-murid berpikir kritis. Tapi, kenapa di
saat kami mulai berpikir kritis selalu saja semua pikiran-pikiran itu disensor
?
Murid 1 :
Iya, ini kan sekolah, kalau kita mau
lulus juga lewat hasil UN, bukan lewat lembaga sensor.
Murid 5 :
Bagaimana kalau Ibu guru sekarang
juga pergi ke kantor pemerintah untuk mencari jawaban dari setiap pertanyaan
kami dan menyampaikan unek-unek kami itu ?
Murid-murid :
Iya, iya ! Benar !
Guru :
Loh, loh ! kenapa jadi ibu yang
harus pergi untuk menyampaikan unek-unek kalian ?
Murid 2 :
Kalau nanti kami yang berangkat
untuk protes, maka akan muncul berita-berita yang berbunyi begini, “Lagi-lagi,
Mahasiswa Indonesia Menggelar Aksi Unjuk Rasa Kepada Pemerintah.”
Murid 4 :
(Mengubah gaya suara dan lakunya
seperti seorang pejabat) “Seharusnya, sebagai mahasiswa itu, mereka berusaha
untuk belajar dengan giat, mengerjakan tugas-tugas dari kampus, dan cukup
menjadi anak yang berbakti untuk orangtuanya.” (murid-murid lain mengerubutinya,
berpura-pura seperti reporter)
Guru :
Kalian kan pelajar bukan mahasiswa.
Murid 1 :
Sudahlah Bu ! kami masih saudara,
sama-sama diberi tugas untuk belajar, tidak ada bedanya.
Guru :
Tapi, kalian tidak punya hak untuk
menyuruh ibu, kalu orang dulu bilang itu namanya, “gak ilok.”
Murid 1 :
Tadi ibu mengejek kamu dengan
mengatai bahwa kami adalah murid-murid yang kuno. Kalau Ibu sendiri belum siap
dengan adanya perubahan yang terjadi seperti ini, maka Ibu jangan berani-berani
membuat wacana tentang “KELAS BARU.”
Murid-murid :
Iya, iya. Benar itu !
Kakek yang sedang tertidur di bangku
belakang, terbangun. Berjalan keluar sambil membawa lonceng disebelahnya.
Murid 5 :
Pokoknya, Ibu harus menyampaikan
masalah ini sekarang juga ! Kalau tidak,
kami akan mengikat Ibu menggunakan tali di kursi itu.
Murid 3 :
Iya, kita ikat saja ! Aku setuju
itu.
Murid-murid :
Iya, ayo – ayo (ada yang memegang
ibu guru, ada yang mengambil kursi guru untuk diletakkan ke tengah panggung,
dan ada juga yang mengambil tali dari dalam tas mereka)
Guru :
Eh, jangan, jangan, jangan anak-anak
! Ibu hanya menjalankan tugas seperti yang diperintahkan pada ibu.
Murid 4 :
Ah, bodo amat.
Murid-murid mulai mengikatnya pada
kursi.
Tiba-tiba, masuk kakek tua tadi
masuk sambil membawa bel seperti penjual es puter dan sebuah nampan yang
diatasnya berisi 5 botol dot bayi berisi susu.
Kakek :
(membunyikan belnya) Anak-anak,
waktunya minum susu.
Semua murid langsung berlari
menghampiri sang kakek dan mengambil botol susu. Lalu mereka mencari tempat
masing-masing, ada yang duduk, terlentang, dsb. Musik piano pengantar tidur
berbunyi dengan lembut, dan kini para murid-murid itu telah tertidur.
Guru :
(melepaskan diri dari ikatan tali di
kursi dan berjalan menghampiri sang kakek)
Kakek :
Lihat, betapa manisnya mereka saat
tertidur sambil meminum susu.
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar