PUISI: ANTARA KATARSIS DAN KARYA SENI
Oleh: Abdul Mukhid
Adakah
puisi hanyalah sebuah katarsis untuk mencuci jiwa penyairnya? Adakah ia sebuah
karya seni? Ataukah ia sekedar alat pelampiasan amarah atau kegalauan? Agaknya
yang terakhir inilah yang saya jumpai dalam puisi-puisi antologi puisi 22 ini.
Hampir seluruh puisi yang ada di sini hanya berisi curhat kegalauan atau
kemarahan penulisnya. Lantas apakah puisi tidak boleh nguda rasa atau
mengungkapkan perasaan penulisnya? Tentu saja boleh. Namun demikian,
pengungkapan perasaan itu jangan melupakan puisi sebagai karya seni.
Ungkapan-ungkapan itu janganlah terasa dangkal dan hambar sehingga puisi tidak
bisa dinikmati baik dari sisi kekuatan bahasa maupun kedalaman isinya. Singkat
kata, kalau memang bisa diungkapkan langsung atau ditulis sebagai bukan puisi,
kenapa harus ditulis sebagai puisi? Ketika saya membaca puisi-puisi yang ada di
sini, terasa sekali luapan emosi tiap penyairnya. Terasa sekali puisi-puisinya
jadi bertele-tele dan dangkal. Penyairnya mengumbar begitu saja emosinya tanpa
mengendapkan atau mensumblimasikannya terdahulu untuk kemudian diolah menjadi
kata-kata yang bernas yang memiliki bahasa ucap yang kuat.
Persoalan lain yang saya jumpai adalah
persoalan bahasa. Jangan
dikira kalau menulis puisi berarti lepas sama sekali dari kaidah bahasa. Kalau
pun keluar dari kaidah tentunya ada kesengajaan atau diniatkan untuk tujuan
tertentu, entah itu tujuan artisik atau pertimbangan lain. Kesalahan paling
menonjol dalam antologi ini adalah ada beberapa puisi yang menggunakan
singkatan layaknya SMS seperti “yg” atau “dr”, padahal di dalam puisi itu
sendiri tidak ada indikasi menyisipkan SMS. Hal ini menunjukkan ketidakseriusan
dan kesembronoan berbahasa dalam menulis sebuah karya sastra, padahal bahan
baku utama karya sastra, terutama puisi, adalah bahasa.
Hal menonjol lainnya yang saya
jumpai adalah banyaknya ungkapan-ungkapan klise. Saya curiga hal itu disebabkan
kurang luasnya bacaan sehingga para penulisnya miskin kata-kata. Pada
gilirannya, nyaris tidak ada yang menemukan metafora baru sehingga gagal membangun
imaji dalam puisi-puisinya. Harap selalu diingat, “penulis yang baik adalah
pembaca yang baik.” Sekalipun demikian, saya mencatat ada satu puisi yang
lumayan berhasil membangun imaji, yaitu Tiramisu Latte:
Aneh
Ini latte pertama yang aku pesan
Setelah mengunjungi beberapa kedai
kopi
Tapi, malam ini
Latteku tak sama dengan lattemu
Puisi naratif ini berhasil bercerita
dengan singkat, padat tetapi mengena. Sebagai pembaca kita bisa menciptakan
ruang-ruang imajinasi di benak kita. Tidak hanya itu, tanpa mengungkapkan
perasaannya, kita seolah-olah bisa menangkap apa yang dirasakan penyairnya.
Terakhir, saya ingin menyampaikan
rasa apresiasi saya setinggi-tingginya atas keberanian dan kegigihan
teman-teman untuk mewujudkan antologi ini. Semoga apa yang saya ungkapkan di
atas tidak membuat kalian berkecil hati, namun justru terlecut untuk terus
belajar, berproses dan berkarya. Selamat
Anda sudah menaklukkan diri sendiri!
Abdul
Mukhid
Malang,
17 September 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar