Sabtu, 10 Oktober 2020

CERPEN KARYA SARI ANGGOTA LUARBIASA UKM TEATER HAMPA INDONESIA UNIVERSITAS NEGERI MALANG

 

“IZIN”

Karya: Sari Rahmadani

Adaptasi karya dari Lariza Oky Adisty “Pelukan”

Adalah Keyla, gadis manis yang genap berusia 22 tahun. Dia adalah seorang mahasiswi rajin yang suka menulis. Key, yang sering akrab dipanggil dengan sebutan nama itu tinggal didaerah perkotaan yang cukup jauh dari kampus, tempat dia belajar dibangku perkuliahannya. Yah, bisa dibilang dia sedang merantau di Kota orang untuk menempuh pendidikannya. Key adalah gadis kecil, gendut, dengan kulit sawo matang dan memiliki hidung yang lumayan mancung kata orang. Otomatis, tinggi badannya juga pendek tidak sampai 1,5 m dengan panjang kaki hanya 19cm. Ukuran sepatu pun, ia sulit menemukan yang cocok untuk dirinya, karena ukuran sepatu cewek seusia gadis belia itu minimal ukuran 37, sedangkan ia membutuhkan ukuran 36. Yaah... begitulah, dibalik kegemarannya yang suka menulis, ia pun juga sangat menyukai warna Biru.

“Dengarlah, lagu ini sangat enak sekali” ucap Key kepada teman disampingnya bernama Tina yang saat itu mereka sedang berjalan pulang ke kosannya usai kuliah. Key memang suka mendengarkan musik, apalagi kalau lagu-lagu yang didengar ditelinganya membuat dia jatuh hati terhadap lagu, dia setiap hari akan selalu melantunkan lagu tersebut. Tina adalah sahabat karib Key sejak ia pertama kali memasuki bangku kuliah. Mereka pun adalah teman sekelas dan satu kos. Setiap hari mereka pergi dan pulang bersama-sama. Hanya saja, sekarang ini Key lebih sibuk dengan kegiatan yang digemarinya yaitu menulis. Sebab itu, dia mengikuti salah satu kegiatan dikampusnya yaitu sebuah organisasi yang bernama “Jurnalistik”. Sedangkan Tina, hanya mahasiswa biasa yang biasa-biasa saja. Ia hanya meluangkan waktunya untuk kuliah, kerja kelompok mengerjakan tugas, lalu meluangkan waktu dikos bersama teman-temannya.

Ketika Key sedang menulis seperti biasanya untuk dimuatkan kedalam jurnal hariannya di organisasi jurnalistiknya itu, kemudian ponsel di atas tempat tidurnya bergetar dan sebuah kalimat terpampang disana.

‘a message received from Reifan’

“Tuh, ponsel kamu bunyi Key” kata Tina teman sekamarnya. Key hanya mengangguk kepalanya sembari tersenyum dan langsung membuka pilihan ‘open’ pada ponselnya.

Terima kasih, sudah membuatku tersenyum. Sejak hari pertama kita dipertemukan. Dan belum juga bosan melakukannya {}

Key tertawa kecil, lalu membalas pesan tersebut kepada Reifan, kekasihnya yang ia juga teman satu organisasi jurnalistik bersamanya.

You’re welcome... you make me survive our relationship, Hunny {}

Hari itu, senyuman itu. Key dan Reifan telah menghabiskan berbagi beberapa persen kehidupan satu sama lain hampir 2 tahun. Walaupun sebenarnya kini mereka sama-sama lebih sibuk untuk proses perkuliahannya yang hampir menginjak tahun keempat. Yah, masa-masa itu adalah masa dimana mereka lebih berjuang untuk dapat mematangkan prospek kedepan yang akan dicapai. Walaupun keduanya masih aktif dalam organisasi jurnalistik, namun waktu mereka juga lebih memfokuskan untuk urusan proses output kedepan setelah mereka beranjak pergi selesai lulus nanti.

Berbeda dengan Keyla, sosok Reifan adalah seorang laki-laki dengan penampilan dan pembawaan yang easy going. Reifan mudah sekali berteman dengan semua orang, terlebih juga ia adalah penulis jurnalistik terbaik sepanjang kepengurusannya hingga sekarang pun, tulisan-tulisan yang ia buat masih diharapkan dan diminta publik untuk dimuatkannya. Hingga dalam beberapa pekan lalu, Reifan dikirim ke Kota Bandung untuk mengikuti Lomba Menulis Sastra tingkat Nasional mewakili kampusnya serta mewakili nama organisasi yang ia pegang. Ia pun juga pernah dikirim ke Ibukota untuk ditawarkannya beasiswa S2 di luar negeri.

Key memang suka menulis, tapi tulisannya hanya cukup dimuat didalam lingkup jurnal harian organisasinya sendiri. Ia memang menyukai menulis bukan untuk orang lain, namun ia menulis untuk dirinya sendiri. Untuk mengisi hampanya tangan yang tidak digerakkan dengan torehan tinta-tinta lalu disajikan dalam secarik kertas.

Belakangan ini, Reifan sangat sibuk. Disamping jadwal perkuliahan yang padat dan juga waktu yang harus terbagi karena sering ada even dan panggilan ke luar kota untuk ajang menulis, komunikasi kepada Keyla pun juga jarang ia lakukan. Walau Key menghubunginya dulu, tapi pesan tersebut lama untuk dibukanya karena kesibukannya yang sangat padat dan ia yang jarang membuka ponsel.

Key tidak tau, apa yang terjadi dibalik itu. Ia hanya selalu mengkhawatirkan dan merindukan Reifan dalam pelukannya. Pelukan yang kini ia jarang rasakan. Bahkan sudah hampir setengah tahun mereka tidak bertemu. Reifan pun juga jarang bahkan tidak pernah mengunjungi tempat organisasinya.

Waktu tak terasa banyaknya, persiapan kelulusan wisuda tinggal satu bulan lagi. Key sudah menyelesaikan skripsinya dengan perjuangan dan keuletan yang selalu ia kerjakan. Mengejar waktu dan bimbingan rutin setiap hari ia lakukan. Jika terdapat kesalahan, perbaikan dan perubahan langsung ia revisi dalam waktu itu kepada dosen pembimbingnya. Yaah, memang skripsi merupakan tonggak akhir ujung dari masa perkuliahannya. Begitupun Reifan, karena ia pun juga sangat pandai dan banyak dikenal dosen sehingga pantas saja kalau ia lulus dalam waktu kurang dari 4 tahun.

Saat tanpa ditemani dan dihubungi oleh Reifan, Key merasa waktunya untuk mengerjakan skripsi sangat tenang dan tidak ada pikiran. Ia bisa fokus dan mengejar target, hingga kedewasaan dan sikap manjanya berkurang untuk tidak terlalu meminta perhatian dari kekasihnya. Kini, saat semuanya sudah selesai ia pun kembali merenung. Sebenarnya bagaimana hubungan antar mereka?

“Dulu aku selalu yakin bahwa Reifan adalah sebuah takdir dari Tuhan untukku, namun kini aku mulai lelah. Aku merasa semua ini hanya buang-buang waktu saja. Apakah keningku sudah tertangkap matamu? Apa kerumunan orang diluar sana mengganggu jarak pandanganmu ke arahku? Apa langkahmu tertahan beberapa hati yang kau temukan di perjalanan? Apakah ini yang memaksamu untuk menepi? Aku pikir aku harus melanjutkan hidup untuk diriku sendiri, bukan untuk kesia-siaan ini” gumam Key dalam hati.

Tanpa membuang-buang waktu, Keyla menghubungi Reifan hanya mengirimkan satu pesan singkat yang berisikan:

“So, I guess this is, then? We’re done? J thanks a lot... Seize the oppurnity ya, I’m proud of you. Aku tau, seharusnya kita tidak membuang waktu kita yang terbuang begitu saja. Mungkin lebih baik kita meneruskan waktu kedepan dengan mengejar apa yang kita cita-citakan masing-masing

Dengan cepat, Reifan langsung reply that message to Keyla.

“Well, would you like to meet me tonight? Please, let me to see you. Aku jemput kamu di kosan seperti biasa. Kita ke tempat bukit bintang, tempat pertama kali kau ku ajak bertemu dulu”

            Kali ini berbeda, Keyla dan Reifan saling bertemu setelah sekian lama hingga mereka akan sama-sama segera lulus dan wisuda. Raut wajah Reifan tak biasa dan tak bisa terbaca Keyla. Lalu, mendadak tangannya menyentuh pundak Keyla.

            “Key... aku Cuma ingin memastikan pembicaraan kamu lewat sms tadi. Jadi, apa yang aku pikirin sama dengan kamu. Kalau kita mendingan..... “ ia berhenti sejenak”.... Selesai?”

Kali ini Keyla tak sanggup menatap mata Reifan lebih lama. Cepat-cepat dialihkan tatapannya ke jalanan.

            Ketika mereka sudah tidak lagi tahu harus melangkah kemana. Ketika tak lagi saling mempersoalkan waktu, seperti kehabisan akal memelihara perasaan terhadap satu sama lain. Keyla dan Reifan tahu ada sesuatu yang salah. Namun keduanya tidak mau mengoreksinya.

Keyla mengangguk pelan. Ia ingat, ketika ia dan Reifan jatuh cinta, semua dimulai dengan indah tanpa paksaan. Karena itu ia ingin semuanya juga berakhir dengan indah, tanpa ada yang dirugikan atau diam-diam menyimpan getir yang hanya akan membunuhnya pelan-pelan saat nanti.

            Reifan berencana untuk melanjutkan studi kuliah S2 nya ke Australia. “Are you really going Australia?” tanya Keyla. Yess.. I’m Sure, after our graduation I’m going to Australia. Ujar Reifan, kekasih yang amat disayanginya. Keyla mengangguk memaksakan senyum.

            “Key...” Keyla mendengar suara Reifan ditelinganya. “Kita putus bukan karena aku mau berangkat ke Australia kan?” tanyanya. “No. You know it wasn’t about that”, tukas Keyla.  You’re right.. Sorry” mestinya kita tidak ngomongin itu, Sorry, ujar Reifan seraya menepuk pelan pundak Keyla.

            Selama ini, Keyla mengira rasa sakit itu sudah hilang. Namun ia keliru. Rasa itu masih ada, hanya terlupakan. Pertemuan dengan Reifan mengingatkan kalau ada sesuatu yang terasa belum tuntas dari keputusan mereka berpisah. Apalagi sekarang, satu bulan sebelum Reifan pergi jauh. Penting bagi Keyla untuk pergi tanpa ada ganjalan di hati. Termasuk dengan Reifan, lelaki yang pernah jadi kesayangannya.

            Lalu, mendadak Reifan menarik tubuh Keyla ke pelukannya. Tanpa ragu, Keyla membalas melingkarkan lengannya ke tubuh Reifan. Merasakan dipeluk lelaki ini untuk terakhir kali, setidaknya sekarang ini. Pelukan untuk saling melepas semua sisa rasa yang masih tertinggal. Sebelum melanjutkan hidup masing-masing. Pelukan tanda IZIN bahwa keduanya akan sama-sama meninggalkan dan pergi.

            Bagi Keyla, pelukan tadi adalah penanda tertutupnya bab antara dia dan Reifan. Jika memang takdir berkata lain, setidaknya mereka saling memiliki cerita dan tetap menjadi teman baik. Kini Keyla mengizinkan Reifan yang mulai pergi. Pergi untuk saling menepi dalam sebuah rencana yang besar. Setidaknya dengan berpikir begitu, gadis itu tidak perlu merasakan lagi himpitan dada tiap teringat Reifan. Itu sudah lebih dari cukup.

Tubuh saling bersandar,

Ke arah mata angin berbeda

Kau menunggu datangnya malam

Saat Ku menanti Fajar...
Sudah coba berbagai cara

Agar kita tetap bersama

Yang tersisa dari kisah ini

Hanya kau takut kuhilang
Perdebatan apapun menuju kata pisah~

Jangan paksakan genggamanmu
Izinkan aku pergi dulu....

Yang berubah hanya

Tak lagi kumilikmu

Kau masih bisa melihatku

Kau harus percaya

Kutetap teman baikmu....

 

*Song by: Tulus “PAMIT”

 

            Perlahan lampu warna-warni ini meredup. Seiring malam yang semakin dikejar pagi sambil mengintip-intip dibalik gerombolan awan. Mungkin, kini hanya bisa menyiapkan lengan untuk hujan pelukan. Menyiapkan telapak tangan untuk sebuah genggaman dari pertemuan. Entahlah, semesta kerap mengajariku untuk bersiap-siap.

 

-THE END-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar