Sabtu, 10 Oktober 2020

NASKAH DRAMA KARYA ANGGOTA LUARBIASA UKM TEATER HAMPA INDONESIA UNIVERSITAS NEGERI MALANG

 

 

 

 

 

 

Naskah drama

KECOA

 LAKI-LAKI

Karya Dwi Wulandari

 

 

 

 

 

KECOA LAKI-LAKI

Karya Dwi Wulandari

Aktor

Perempuan tua                       : Perempuan usia 45 tahun, jiwanya terguncang, percaya diri.

Perempuan setengah baya     : Perempuan usia 25 tahun, cantik, sexy.

Perempuan muda                   : Perempuan usia 16 tahun, polos.

Polisi                                        : Lelaki usia 21 tahun, pengkhianat Negara, bijaksana.

Lelaki dewasa                          : Lelaki usia 30 tahun, penyayang, labil.

Istri tua                                    : Perempuan usia 28 tahun, serakah, kasar.

Cik Dolang                               : Lelaki usia 30 tahun, orang kaya sombong, jahat.

Lilis                                          : Tetangga Perempuan tua, baik, penyayang.

Imas                                        : Anak Lilis, usia 9 tahun, polos.

Dadang                                    : Tetangga Perempuan tua, usia 50 tahun, licik, kasar.

Ratih                                        : Istri Dadang, kasar, mudah terpengaruh.

Ela                                           : Teman Ratih, tukang adu domba, provokator.

Ujang                                       : Tamu dari kampung sebelah, orang Sunda kuno.

 

BABAK 1

Ada sebuah tempat tidur yang ada kelambunya di sisi kanan panggung agak kebelakang. Di sebelah kiri terdapat kaca rias membelakangi penonton. Menggambarkan sebuah rumah dengan ruang segiempat tanpa sekat. Ruangan yang bisa digunakan untuk kamar tidur, bersolek, ruang tamu, sekaligus dapur untuk memasak.

Perempuan tua

(Sedang tertidur pulas menghadap penonton. Berpakaian kebaya dengan bawahan kain jarik khas Sunda. Wajahnya penuh dengan make up dan lisptick tebal dibibir. Rambutnya masih dalam keadaan disanggul. Pinggangnya dilingkari kain Sinden (tersengar suara serangga secara tiba-tiba. Perempuan terbangun kemudian mengejar serangga kesana kemari, ditumpukan bantal, selimut, dipojok tempat tidur, dibawah kolong tempat tidur, sampai ketengah panggung. Berusaha memukuli serangga menggunakan sendal jepit). Mati kau kecoa, mati! Kenapa kau singgah dikamarku?!! Kau sungguh menjijikkan! Kecoa kau! Kecoaa!!! (tertawa setelah mendapati kecoa telah mati). Rasakan kau, rasakan! Kau tahu bahwa kau menjijikkan, hah?!! Tidak ada orang yang mau mendekatimu. Kau sadar tidak? Ah, terdengar seperti diriku saja! Tidak-ada-yang-mau-mendekati-diriku. Ya, aku akan mati disini, sendiri, diruang sempit ini, jelek, buruk, kumuh. Menjijikkan! Hah, menjijikkan sepertiku? Apakah aku benar-benar menjijikkan? (meringkuk sambil menangis). Tidak, aku tidak menjijikkan sama sekali. Mereka yang menjijikkan. Kau, kalian semua yang menjijikkan! (terisak-isak sampai terdengar suara-suara).

Kau yang menjijikkan! Kau hina! Kau kotor! Pelacur kau!! Perebut suami orang! Perusak rumah tangga orang! Mati kau, mati! Kau lebih baik mati saja! Tidak ada gunanya kau hidup. Kau cuma kotoran dibumi. Apa kata ibumu nanti? Tidak tahu diri kau! Busuk! Perempuan pengganggu! Ngapain kau pulang pagi?! Kau tidak lebih kotor dari seekor kecoa! Kecoa kau! Perempuan kecoa!!

Perempuan tua

Hentikan, hentikaaaaannnn!! (berteriak hebat sambil menutup telinga). Kalian, kalian yang suci tidak berhak menghakimi diriku yang kotor. Aku memang kotor. Aku berasa hina. Tidak, tidak. Bukan aku yang kotor. Laki-laki itu, banyak laki-laki, semua laki-laki didunia ini. Brengsek kau, biadab, bangsaaaat!! Kalian semua menjijikkan! Kalian kotor, kalian busuk, kalian jahat, kalian seenaknya! Kalian yang kecoa! Laki-laki kecoa! Kecoa laki-laki! (Hening sejenak, terdengar suara ketukan pintu dari luar. Perempuan menatap jam dinding disamping tempat tidur. Jam menunjukkan pukul 03.00 dini hari). Siapa pagi-pagi begini? Tidak tahu waktu. Ngapain bertamu kerumah orang saat jam istirahat begini? (mengusap air mata, merapikan pakaian agar lebih pantas menghadapi tamu).

Dadang

Selamat pagi, cantik. Kau masih belum tidur? Untuk pagi ini ayo temani aku! Aku lelah sekali sayang (mulai mendekat kearah Perempuan).

Perempuan tua

Berhenti, berhenti sampai disitu! Awas, kalau kau maju selangkah lagi! Aku tusuk kau dengan pisau ini! (Perempuan mencari-cari pisau di meja rias). 

Dadang

Ayolah, kau sombong sekali hari ini. Mentang-mentang kau sudah pindah dari lorong pelacuranmu lantas kau pikir aku tak bisa mem-booking mu? Aku malah akan lebih sering menghampirimu, sayang! Kita ini tetanggaan. Ayolah, kau jangan mau main kucing-kucingan denganku! (Dadang langsung mengejar Perempuan memutari tempat tidur dan kaca rias).

Perempuan tua

Kau jangan macam-macam! Sekarang aku bukan seorang pelacur lagi. Aku adalah seorang penjahit. Malamnya aku hanya mencari penghasilan tambahan dengan menjadi seorang Pesinden di kampung sebelah. Tidak lebih. Ingat, kang Dadang ini kampung yang punya peraturan! Jadi kau tidak boleh seenakmu saja memasuki rumah seorang Perempuan di pagi buta begini. Mana istrimu? Nanti ia akan marah besar padamu.

Dadang

Kau jangan sungkan terhadap istriku, cantik. Dia tidak tahu kalau aku sedang main kerumahmu. Ayo, kemari! (Dadang semakin mempercepat langkahnya, Perempuan ketakutan sampai akhirnya Perempuan berani menodongkan pisaunya ke leher Dadang. Keduanya jatuh diatas tempat tidur).

Ratih

(Mendobrak pintu dengan kasar). Oh, jadi begini Kang pekerjaanmu. Ini yang katamu cari uang sampai pagi. Ternyata mengincar janda sampai pagi. Jadi benar apa kata Ela?

Dadang

Hei, Ratih tidakkah kau lihat pisau ini berada dimana? Perempuan ini yang menggodaku mati-matian sampai aku hampir ia bunuh. Perempuan ini begitu ganas, Ratih. Tolong aku!

Ela

Oh, jadi begitu. Tunggu apalagi kamu Ratih? Kamu tidak kalah lebih cantik dari perempuan pesinden itu. Ayo, serang dia! (Ratih kemudian menjambak rambut perempuan sampai keduanya berguling di lantai).

Dadang

Sudahlah, aku tidak apa-apa Ratih. Jika kau berlaku ganas, kau tidak ada bedanya dengan perempuan jalang itu. Jangan mengotori tanganmu seperti harga diri perempuan itu. Mari kita pulang! (Dadang menarik Ratih dan Ela keluar dari rumah Perempuan).

Perempuan tua

(terisak). Aku bukan pelacur lagi sekarang. Aku hanya perempuan yang dikotori oleh tangan-tangan tak bertanggungjawab. Aaah!! Aku benci diriku sendiri. Ia seperti kecoa yang menjijikkan! (terus berjalan sambil berbicara pada penonton. Tiba-tiba saja kakinya mengenai kecoa yang sudah mati). Aah, apa itu?! Aku geli, aku tak sudi menyentuhnya! Kecoa lagi (sambil mengangkat kecoa dengan jijik). Kau jelek sekali, kecoa! Bentuk tubuhmu aku patahkan saja agar kau terlihat tidak menjijikkan lagi. Bagaimana? Aku tarik kakimu yang sebelah sini, yah? Tanganmu juga, yekss (pura-pura muntah). Aku tak sudi. Mati saja kau disana, di sudut ruangan (melempar badan kecoa jauh-jauh).  Lebih baik aku berhias saja agar aku terlihat cantik dan tidak menjijikkan (duduk dihadapan kaca rias kemudian berdandan). Ah, tapi buat apa aku berdandan toh orang-orang yang mengenalku sudah tahu betapa hinanya diriku, betapa kotornya diriku, betapa kecoanya diriku. Aah, aku benci engkau! (memukul-mukul Perempuan di dalam cermin. Musik menyanyat hati dimainkan. Lampu redup).

Perempuan tua

(selesai keramas, mengeringkan rambutnya yang terurai basah dengan menggunakan handuk di depan kaca rias. Tiba-tiba saja terdengar tarhim menandakan hari sudah menjelang subuh. Perempuan tua memotong sayur di tengah panggung). Hari ini aku akan memasakkan suamiku makan yang paling enak. Kalau dia pulang nanti pasti ia suka. Aku harus segera menyelesaikan pekerjaan memasakku (tersenyum, kemudian menangis). Tapi, mana suamiku? Ia tidak pulang sejak kemarin malam. Apa ia sudah bosan denganku? Perempuan yang pernah digilir dari ranjang ke ranjang. Apa mungkin ia sedang singgah ke rumah temanku? Apa mungkin dia yang menggilir ranjang-ranjang? Ah, sudahlah! Aku yakin dia laki-laki baik. Dia pasti pulang menemuiku karena sudah rindu beberapa hari tak bertemu (menghibur diri, kemudian menangis kembali). Ah, apa ini? Pisau, aku takut pisau! Akhhh, aku takut pisau! (berlari, bersembunyi di bawah kolong tempat tidur. Lampu redup).

Perempuan muda

(sedang memotong sayuran dengan pisau. Memakai pakaian daster tiga perempat lututnya. Merasa tidak nyaman seolah-olah sedang diamaati dari kejauhan). Haduh, sudah jam segini! (melihat jam dinding. Mempercepat pekerjaannya seolah sedang ditunggu oleh majikannya. Langkahnya gesit, sesekali mengelapi keringatnya yang menetes di pelipis perempuan muda. Pun sesekali membenarkan posisi rambutnya yang terus jatuh mengenai matanya).

Cik Dolang

(tiba-tiba memeluk Perempuan muda dari arah belakang)

Perempuan muda

Tuan, apa yang sedang Tuan lakukan disini? Lepaskan!

Cik Dolang

Sst, diamlah sebentar! Ayo, ikut saya!

Perempuan muda

Lepas Tuan atau saya akan teriak! Nyonya akan segera keluar! (berusaha melepaskan Tuan tapi tidak bisa).

Cik Dolang

(buru-buru merebut pisau yang dipegang oleh Perempuan muda kemudian menodongkan pisau ke arah pinggang Perempuan muda). Silahkan saja kau teriak atau kau akan mampus! Turuti perintahku atau kau akan bernasib saja seperti kecoa ini! (menginjak kecoa kecil yang tiba-tiba berada di bawah kaki Cik Dolang. Kecoa itu mati sampai cairan tubuhnya muncrat. Perempuan muda menelan ludah. Pasrah terhadap apa yang akan dilakukan Cik Dolang. Perempuan muda menangis. Lampu redup sebentar disertai teriakan dan isak tangis Perempuan muda kemudian panggung dalam keadaan terang kembali).

Perempuan muda

(tergeletak lemah di atas tempat tidur. Menangis tersedu-sedu dalam posisi meringkuk. Sesekali mengerang kesakitan).

Gusti, kenapa aku Kau biarkan dilakukan seperti binatang? Kenapa harus aku yang harus menanggung semuanya? Kenapa kau tidak pilih orang lain saja? Aku tak tahan bila harus menanggungnya, Gusti. Jika ditanya siapa yang paling sakit di bagian ini, akulah orangnya. Aku! Gadis suci tak berdosa yang hanya memiliki sedikit harapan. Ke negeri Jiran hanya untuk memperbaiki kehidupan. Tapi apa balasannya? Kau mengajakku bercanda lagi? Iya? Setelah Kau membuatku menerima takdir sebagai anak seorang tani tua. Cukup orang tuaku yang tak mampu membiayaiku di Perguruan Tinggi. Tidak perlu tubuhku Kau hukum dengan hukuman yang paling berat. Aku ini perempuan (terisak kemudian duduk, merapikan rambutnya yang berantakan).

Duh, Gusti betapa malangnya nasibku

Sudah jatuh tertimpa tangga pula

Sudah miskin hilang harta dijiwa jua

Duh, Gusti salah apa hamba?

Bukankah ini karma?

Aku hanyalah seorang anak tani tua

Mengapa kau mengajakku bercanda?

Bercandamu keterlaluan!

Duh, Gusti aku tak kuat menanggung beban derita ini

Apa kata ibuku nanti, kata orang tuaku,

saudaraku, orang-orang kampung

Aku kotor Gusti!

Perempuan muda

(mendapati pisau di dibawah selimut). Sial, pisau ini yang membuatku menuruti semua nafsu lelaki biadab itu! Bangsat, laki-laki kotor, hina, tak tau malu! Lebih baik aku mati saja jika tahu kau akan memperlakukan aku seperti ini (menangis sambil merobek bantal hingga kapuknya bocor dan berantakan). Laki-laki laknat!

Cik Dolang

Hee, apa yang kau katakan barusan? (Cik Dalang menghampiri Perempuan muda kemudian memperlakukannya dengan sangat kasar). Kau butuh uang? Ini, ambil! Kau minta berapa akan aku kasih (menghamburkan uang ke atas tempat tidur). Sudahlah, kau jangan menyesali nasib! Ini semua rencana Tuhan. Sekarang kau aku pecat jadi tukang memotong sayur di rumahku. Cepat pulang ke Negerimu sebelum terjadi apa-apa denganmu! Awas jika kau berani buka mulut di depan Nyonya! (keluar kamar sambil tertawa girang).

Perempuan muda

Jahat! Kau seenaknya, Tuan! Aku tidak butuh uangmu. Kenapa kau renggut harga diriku! (menangis kencang tapi tak ada yang mau mendengar. Rumah adalam keadaan kosong. Lampu redup perlahan).

Perempuan tua

(masih menangis di bawah kolong tempat tidur. Ketukan pintu dari luar terdengar. Jam masih menunjukkan jam 08.00 pagi dini hari. Perempuan tua segera menghapus air matanya lalu membukakan pintu).

Lilis

Ibu, masih menerima jahitan? (Perempuan tua mengangguk). Saya yang tempo hari menitipkan sarung bantal, Bu. Hari ini saya boleh menitip anak saya sekaligus? Saya mau ke pasar sebentar atuh (tersenyum kepada anaknya). Imas geulis, disini sebentar ya. Nanti Ibu segera kembali (Imas mengangguk dengan boneka Barbienya ditangan).

Perempuan tua

(Menjahit, Imas dalam keadaan tablo. Perempuan tua mengajak penonton berbicara sebentar). Semenjak suamiku meninggal aku memutuskan untuk menjahit saja. Entah itu pakaian lebaran untuk anak tetanggaku, sarung bantal untuk temanku yang baru menikah lalu berhenti menjadi pekerja seks, atau bahkan dalaman perempuan bekas teman semasa aku melacur dahulu. Tapi apa? Ah, lelaki itu curang! Dia membuat aku menikmati sepi. Seharusnya tidak begitu. Ah, tetap saja lelaki itu curang!

Imas

(bermain boneka Barbie, kemudian memperhatikan). Tante punya cita-cita?

Perempuan tua

(Tersentak, menghentikan kegiatan menjahit). Memangnya ada apa, cantik? (Mengelus pipi anak tetangga, meluruskan pandangan). Semua orang pasti punya mimpi. Tapi tidak semua orang bisa mewujudkannya (Tersenyum, melanjutkan menjahit).

Imas

Memangnya cita-cita tante apa?

Perempuan tua

Cita-cita tante adalah tidak sendiri. Tante benci sepi, sendiri, sunyi, hening. Tante takut diam (Mengelus kepala anak tetangga). Memangnya cita-cita kamu apa, cantik?

Imas

Aku pengin kayak Barbie, Tante. Punya pangeran. Kata mama pangeran akan datang. Benar ya, Tante? Memangnya pangeran aku siapa?

Perempuan tua

(Tertawa) nanti kalau kamu sudah besar, pangeran kamu pasti datang.

Imas

Mama pangerannya Papa. Aku pangerannya nanti kalau udah besar datang. Kalau tante pangerannya siapa?

Perempuan tua

(Tertusuk jarum) aah! (Bela khawatir, lampu redup).

Perempuan tua

Dan sampai saat ini aku tak punya pangeran. Mungkin begitulah nasib para pelacur. Tak ada pangeran untuk dirinya. Sepi. Sendiri. Kalau dibilang salah seorang lelaki hidung belang yang pernah meniduri kami adalah pangeran, lalu tuan putri mana yang berhasil menggelapkan mata pangeran dari istrinya? Tidakkah tuan putri itu hanyalah selir? (Batuk-batuk. Lampu redup).

Perempuan tua

Dengan kebiadabannya, aku malu membawa pulang badanku yang tak lagi sendiri. Aku habiskan saja kekesalanku di sebuah lorong pelacuran. Dari jerih payahku disana, aku kirimkan uang-uang itu pada keluargaku di Lombok. Mereka pikir aku baik-baik saja sebelum sempat aku dikabarkan sebagai TKW yang mati bunuh diri di negeri Jiran (terdengar suara orang membacakan berita).

Ditemukan seorang TKW di negeri Jiran mati bunuh diri karena frustasi setelah diperkosa oleh majikannya. Korban berasal dari Indonesia inisial SU, usia 16 tahun.

Perempuan tua

Disana aku merasa keluargaku terombang-ambing. Indonesia yang heboh dengan kabar yang simpang siur tapi Negeriku tetap bangga dengan pemberitaan-pemberitaan yang sedemikian harganya, seharga bawang yang dijual per ons di sebuah pasar tradisional. Fotoku terpajang di beberapa stasiun televisi sampai berita itu terdengar oleh keluargaku di Lombok. Karena jaman itu aku masih belum memiliki telepon genggam maka, tak ada penjelasan-penjelasan tentang benar yang bisa aku jabarkan. Kabar salah itu berhasil membunuh seorang tani tua kesayanganku (musik sedih dimainkan, Perempuan tua meratapi kematian Ayahnya. Lagu lirih mendayu-dayu).

Hamparan padi pelipur hati

Sejuknya angin pelipur lara

Hijaunya menggambarkan tani tua yang gagah

Kemuningnya menggambarkan gadis jelita,

Anak tani tua yang diharap-harap

Agar esok tak bertemu panas lagi

Belum sempat Hijau bertemu Kemuning

Layu pulalah Hijau diterpa badai

Angin Lombok bermandikan berita murahan

Sawah menangis dilanda Hujan

Pun kemuning berhati lara

Perempuan tua

Yah, ayahku meninggal akibat pemberitaan-pemberitaan kabur para wartawan. Padahal mereka tak berhasil membawa mayat yang mirip dengan wajahku. Ayahku yang kolot dengan cepat menyimpulkan dan dengan cepat pula kudengar berita kematian laki-laki hebat yang berusaha mati-matian membahagiakan aku sampai hari itu (meneteskan air mata, lampu redup).

Beginikah negeriku yang nestapa?

Habis lara di negeri orang

Dihentam jua aku dengan luka

Negeriku bagai pedang rasa belati

Menghunus jiwaku yang sedang patah-patahnya

Sudahkah Tuhan siapkan hatiku untuk kuat?

Atau Tuhan sedang bahagia atas lara

yang tak kunjung menemui dera

Astagfirullah, ketahuilah bahwa

hukuman ini tidak mengenai diriku seorang

Laknat aku yang kotor ini, Tuhan!

Perempuan muda

(di sudut tempat tidur,mengelus perutnya yang tengah membesar. Tubuhnya dipenuhi dengan keringat. Napasnya ngos-ngosan. (Seorang lelaki berbadan tegap memasuki ruangan sambil membawakan air putih di tangan kanannya). Terimakasih.

Polisi

Sudah, tenanglah! Minumlah air ini. Aku akan menyelamatkanmu dari pengejaran teman-temanku. Kita sudah tidak berada di hutan. Sudah tidak bersembunyi di semak-semak lagi. Aku tidak dengan senjataku lagi. Lihat! Kau aman disini. Ini rumahku. Kau boleh beristirahat semaumu disini.

Perempuan muda

Bolehkah aku bertanya padamu? (Polisi mengangguk). Kenapa kau selamatkan aku? Aku hanyalah orang-orang yang melanggar aturan hukum. Aku pemberontak pada Negara. Untuk pulang ke Indonesia aku tak punya passpor. Aku hanya melewati jalur illegal. Aku mengikuti kapal kecil bersama teman-temanku lalu berpencar di setiap sudut pelabuhan tikus di kawasan perairan Riau ini. Kenapa kau tak membawakan penjara kehadapanku? Bukankah teman-temanmu juga memburuku seperti anda, wahai laki-laki dengan lambang Garuda di dadanya? Apa motivasimu menolongku?

Polisi

Entah mengapa kerling matamu membuat pandanganku berbeda menilaimu. Kau bukan TKW sembarangan bukan?

Perempuan muda

Aku tak punya apa-apa. Aku tak sebaik yang kau pikirkan, Yang Mulia. Lantas berikan aku alasan yang sedikit lebih masuk akal untuk aku bawa pulang.

Polisi

Maksudku bukan begitu, Nona. Tidak mungkin aku meloloskan orang dengan mudahnya. Kau orang pertama yang melakukan itu. Aku ingin mengenalmu lebih jauh, sudikah engkau Nona? Maafkan atas gelapnya mataku , aku mengkhinati negeriku yang kata orang subur makmur gemah ripah loh jinawi (terdengar musik khas beberapa daerah di Indonesia beserta pembacaan Puisi tentang kekaguman pada Indonesia. Lampu redup-terang-redup-terang).

Indonesia beserta jajaran pulau-pulaunya,

aku mencintaimu.

Tari Samin, Suku Dayak,

Budaya Bali, Suku Sasak,

Batik Solo, Zapin Riau,

Soto Lamongan, Suku Malindau.

Subhanallah, indah sekali!

Ranu Kumbolo, surga Rinjani,

Ada Kabayan, jua Raja Ampat,

Kitab Qur’an, pun Nasrani,

Perempuan cantik dan bermartabat.

Indah sekali pesonamu!

Begitulah cara Tuhan

 menurunkan setetes Surga

di tanah Indonesia.

Allahu Akbar!

Perempuan muda

Janganlah kau memperdayai perempuan bodoh yang tak bisa menjaga harta dirinya. Menjauhlah! (mendorong tubuh laki-laki tegap itu perlahan).

Polisi

Aku akan menikahimu, bagaimana?

Perempuan muda

(tertawa sejenak, lalu serius). Laki-laki dimana saja yaa sama saja. Tidak ada bedanya. Seperti kecoa pada jeruji-jeruji penjara. Berani sekali kau mengambil resiko untuk mendekatiku. Kau punya apa?Apa yang bisa kau berikan padaku jika kau menikahi diriku? Bukankah kau juga sedang mati-matian mencari uang untuk mengganti bayaran atas profesimu yang kau beli tempo lalu? (bertepuk tangan, seolah kagum pada Polisi padahal sebenarnya mengejek pekerjaan Polisi yang mana profesi tersebut bisa dibeli seenaknya dengan uang oleh orang-orang kaya). Negeri yang lucu! Sudahlah, aku bilang menjauh! (menegaskan kata-katanya barusan pada lelaki itu).

Polisi

Baiklah, aku tidak akan memaksamu. Ini kartu namaku. Kau bisa mencariku kapan saja kau membutuhkannya. Jika kau berurusan dengan Negara, kau juga bisa hubungi aku. Akan aku bebaskan kau terhadap hukum jenis apapun.

Perempuan muda

(pergi meninggalkan ruangan segiempat, tempat Polisi mengamankan Perempuan muda dari aturan hukum Negara ini).

Polisi

Tunggu, ambillah ini! Aku punya sedikit untukmu (memberikan uang lima puluh ribu Indonesia per lembarnya).

Perempuan muda

Apa ini? Kau menyogokku? Ketahuilah, aku ini perempuan. Tidak semuanya bisa dibeli dengan uang. Kasar sekali kau menyampaikan ini padaku. Aku tidak suka caramu! Harga diriku tak bisa ditukar dengan apapun, bahkan istana sekalipun! (Perempuan muda mulai mengambil nada tinggi. Perasaanya robek lagi begitu tahu perempuan dapat diukur dengan nilai rupiah di Negeri ini).

Polisi

Sudahlah, aku tak bermaksud seperti itu. Maafkan aku jika melukai hatimu. Aku hanya ingin kau pulang ke daerahmu dengan uang yang cukup dan kendaraan yang layak. Ambillah, sungguh jangan berburuk sangka pada tiap lelaki yang kau temui. Siapa tahu mereka adalah tulang rusuk yang kau temukan di perjalanan (Perempuan muda berpikir kembali).

Perempuan muda

Baiklah, ini aku ambil sebagai tanda aku menghargai dirimu. Terimakasih. Maafkan aku yang kasar ini (mengemasi tasnya lalu berlalu. Lampu redup).

Perempuan setengah baya

(Lampu sedikit terang di atas panggung. Perempuan setengah baya dan beberapa lelaki melakukan teaterikal atas kekaguman banyak lelaki terhadap Perempuan setengah baya. Mula-mula Perempuan setengah baya berlari dari sudut panggung ke sudut panggung yang lain sambil menebarkan kembang. Para lelaki mengikuti. Kemudian melakukan tarian dimana para lelaki menyembah dan tersanjung atas kecantikan Perempuan setengah baya. Perempuan setengah baya dilingkari kemudian diangkat tinggi-tinggi. Salah seorang dari lelaki menariknya keluar lingkaran. Geber putih diturunkan. Panggung berubah, memainkan siluet. Keduanya melakukan tarian diakhiri dengan lelaki menabur berlembar-lembar uang Indonesia di hadapan Perempuan setengah baya. Lelaki menarik kain yang diikat di pinggang Perempuan setengah baya lalu Perempuan setengah baya menyambutnya dan menarik lelaki keluar panggung diikuti para lelaki lainnya setelah pembacaan Klosa selesai).

Kerling mataku, senyumku

Kubiarkan para lelaki terapung-apung di atasnya.

Mereka seperti sekumpulan abdi yang berbaris dan memberi sembah,

lalu menyerah ke hadapanku membawa berlembar-lembar uang rupiah.

Aku membawa mereka ketubuhku satu persatu,

Dari malam ke malam berikutnya

Semua dari mereka menyayangi diriku

 

Jika kecantikan adalah tentang anugerah

dan kutukan, maka aku bukanlah kutukan itu.

Kecantikan telah membuat para lelaki dan semua orang menjadi tawanan

dan taklukkanku.  

 

Perempuan setengah baya

(bergincu tebal, duduk di tepi tempat tidur dengan heels sepuluh sentimeter. Sesekali menghisap rokoknya. Menunggu tamu sampai terdengar suara lelaki bertubuh kekar memasuki pintu lalu cepat-cepat menutupnya). Hah, lama sekali anda Tuan? Saya sudah menunggu anda sedari tadi. Kau tidak salah kamar?

Lelaki dewasa

Tidak, tadi aku hanya berbincang-bincang dengan Mami saja. Katanya kau bukan orang asli Bandung ya? Kau asli mana?

Perempuan setengah baya

Aku asli Lombok. Kau sendiri? (masih terus menghisap rokok).

Lelaki dewasa

(bercerita sambil melepas sepatu, dasi, dan kerahnya). Aku asli Bandung. Hanya saja aku pernah bertugas untuk menjaga hutan belantara yang ada di Riau, tempat TKW-TKW illegal menembus Pelabuhan tikus yang ada disana.

Perempuan setengah baya

(tercengang, mengingat peristiwa yang lalu-lalu.  Kemudian cepat-cepat membalikkan badan). Kau?

Lelaki dewasa

Loh, kamu? Bagaimana ceritanya kau bisa sampai disini? Aku menunggu kau menghubungiku selama ini. Tapi kau tak pernah menghubungiku. Tuhan hebat sekali! Kakiku mengantarkanku padamu. Apa kabar kamu?

Perempuan setengah baya

(menghisap puntung rokok yang terakhir. Mematikan apinya dengan cara menginjaknya. Sedang mempersiapkan mental dan kata-kata untuk menghadapi laki-laki dengan lambang Garuda di dadanya yang ia temui tempo lalu).  Sudahlah, kau jangann banyak bicara Tuan! Jangan banyak bertanya! Tugasku hanya melayanimu malam ini lalu kau boleh berlalu setelah mendapatkan kepuasan dariku. Bisakah kau bertindak professional seperti aku yang tidak pernah membatasi lambang Garuda di dadamu untuk menyentuhku?

Laki-laki dewasa

Aku salah lagi? Harus seberapa sering kau membantah ucapanku? Sudahlah, kau jangan berlaku kasar seperti tempo lalu! Malam ini kau milikku sampai pagi. Ingatlah, bahwa nafsu sekalipun tidak memandang profesi. Aku hanya penasaran. Bagaimana ceritanya kau yang membenci lelaki malah sering melayani banyak lelaki?

Perempuan setengah baya

(menangis, entah mengapa emosinya terluap semua). Keluargaku sudah mati-matian menjual sawah untuk keberangkatanku ke negeri Jiran.  Aku tak sanggup menjawab pengharapan-pengharapan mereka dengan kondisi tubuhku yang berbadan dua kala itu. Aku ingin mati saja rasanya ketika itu. Aku tak punya rumah untuk pulang. Lalu aku habiskan sekali tubuhku yang kotor ini di lorong pelacuran yang hina ini. Uangnya aku kirimkan sebagai tanda aku masih bekerja di negeri Jiran dalam kondisi yang baik. Tidak kurang satu apapun (Lelaki dewasa memeluk Perempuan setengah baya dengat erat).

Lelaki dewasa

Aku mengerti bagaimana perasaanmu. Untuk malam ini, aku tidak akan menyakitimu. Tapi izinkan aku agar boleh tetap tidur berdampingan denganmu?

Perempuan setengah baya

Terserahmu, asal itu tetap kesukaanmu. Tapi apakah kau tidak menyanyangkan uangmu yang sudah kau setorkan pada Mami?

Lelaki dewasa

Sudahlah, itu tidak menjadi penting lagi bagiku. Bolehkan aku bertanya kembali? (merebahkan tubuh Perempuan setengah baya di atas tempat tidur dengan lembut. Perempuan setengah baya hanya menjawabnya dengan anggukan kepala saja). Anakmu yang kau kandung tempo lalu sedang berada dimana sekarang? (lampu redup).

Perempuan setengah baya

(terisak sambil berjalan ke tengah panggung. Lighting fokus pada Perempuan muda yang sedang berada di atas tempat tidur.  Melakukan gerakan seolah-olah sedang menghadapi kematian bayinya yang baru lahir).

Tak lelo lelo lelo ledung
Cep meneng ojo pijer nangis
Anakku sing ayu rupane
Yen nangis ndak ilang ayune

Tak gadang biso urip mulyo
Dadiyo wanito utomo
Ngluhurake asmane wong tuwo
Dadiyo pandekare bongso

(Tiba-tiba saja Lelaki dewasa mulai mendekati Perempuan setengah baya. Kemudian lampu redup).

Perempuan tua

(Duduk di sudut tempat tidur. Bersolek, menggunakan bedak pupur, tersenyum). Begitulah lelaki. Mana mungkin ia dapat menahan birahi kelaki-lakiannya itu saat hanya berdua-duaan dengan seorang perempuan lacur yang jelas-jelas adalah haknya karena sudah dibayar. Kita adalah keindahan sekaligus kejahatan. Sampai pada suatu hari ia menikahi aku dan aku berhenti menjadi perkerja seks. Nyaman sekali waktu itu aku rasakan. Seperti ada suara musik Jazz yang dimainkan di surga Ranukumbolo (lampu redup).

Lelaki dewasa

Aku akan segera menikahimu. Bagaimana? Masalah istriku, biar aku yang mengatur.

Perempuan setengah baya

(Hanya mengangguk dengan bibirnya yang sensual, pakaiannya sexy).

Lelaki dewasa

Eit, tapi kau harus berjanji. Kau harus menghentikan pekerjaanmu ini! (Merangkul pundak perempuan setengah baya).

Perempuan setengah baya

Memangnya kenapa? Kau merasa bahwa pekerjaanku hina? (Tertawa sambil menyalakan rokok Lelaki dewasa). Kau juga melakukan hal yang hina, bukan? Buktinya kau menemukan aku di tempat hina seperti ini, di lorong pelacuran.

Lelaki dewasa

Sst, janganlah kau berkata begitu (Mencium aroma tubuh perempuan muda). Kau cantik! Sayang kalau terlalu lama di tempat ini. Bahkan berlianpun akan lusuh jika terlalu lama di pajang. Banyak debu-debu yang mencicipinya (Tersenyum. Begitupulalah Perempuan setengah baya. Keduanya bersulang. Lampu redup).

BABAK II

Perempuan tua

Aku menemukan Tuhan disana. Pun Tuhan mengirimkan cinta ketempat lorong pelacuran, itu semua atas kehendak Tuhan bukan? Aku tak jadi memarahi Tuhan. Gusti Pangeran terlalu bijaksana untuk aku marahi. Ketahuilah, hatiku senang sekali ketika aku melewati beberapa serangkaian upacara adat suku Sunda. Aku suka kendangnya, aku suka tembangnya, aku suka orangnya. Namaku disebutkan dalam ijab qabul, aku disahkan menjadi istri sah dari akang-akang Sunda yang berprofesi menjadi seorang Polisi. Aku berjanji akan menemaninya kemanapun ia bertugas. Dia berhasil menjadikan aku Perempuan yang terhormat. Aku mencintaimu Akang (lampu redup).

Perempuan setengah baya

(Mengenakan pakaian adat khas Sunda. Bersanding dengan Lelaki dewasa diiringi beberapa orang di belakangnya. Menuju ketengah panggung kemudian keluar setelah pembacaan tembang Sunda).

Istri : Saha eta anu kumawani

Taya tata taya bemakrama

Ketrak- ketrok kana panto

 

Laki-laki : Geuning bet jadi kitu

Api-api kawas nu pangling

Apan ieu teh engkang

Hayang geura tepung

Tambah teu kuat ku era

Da diluar seueur tamu nu ningali

 

Istri : Euleuh karah panutan

Istri tua

Jadi kau, perempuan jalang yang berhasil merebut suami orang! Cuih, tak sudi aku serumah denganmu.

Perempuan setengah baya

Maafkan aku merebut suamimu. Kau tidak tahu aku siapa. Tolong hargai aku. Aku akan sadar diri dengan porsi kita masing-masing. Akang bilang dia akan adil.

Istri tua

Akh, kau percaya mulut lelaki! Dulu dia berkata tidak akan memaduku. Tapi apa kenyataannya? Kau menghancurkan semuanya. Kau datang seenaknya dan tanpa bersalah kau melukai hati anak-anakku.

Perempuan setengah baya

Maafkan aku. Sungguh, aku tak bermaksud seperti itu. Aku juga mencintai Akang. Apa salahnya kau berbagi kebahagiaan denganku?

Istri tua

Laknat kau! (menganiaya lengan Perempuan setengah baya dengan setrika. Perempuan setengah baya mengerang kesakitan).

Lelaki dewasa

Hei, apa yang kau lakukan?!! (Lelaki dewasa khawatir terhadap Perempuan setengah baya lalu cepat-cepat memisahkan keduanya dan mengobati luka istri keduanya. Lampu redup).

Laki-laki dewasa

(Di atas tempat tidur) mengapa kau tak pernah menceritakan ini kepadaku? Dia sudah berbuat apa saja denganmu?

Perempuan setengah baya

Jika cinta adalah kematian yang lembut, biarkan aku yang menanggungnya Tuan. Sudahlah, kau jangan mengkhawatirkan aku. Masih banyak yang perlu kau pikirkan. Bela Negeramu, bukan aku yang mesti kau bela (Lelaki dewasa merangkul Perempuan setengah baya erat).

Lelaki dewasa

Jujur, aku mencintaimu lebih dari istri pertamaku. Maka dari itu aku berani membawamu ke dalam kehidupanku. Tapi jika kau suruh aku memilih, aku bingung! Aku tak bisa melepas keduanya. Aku ini pengecut! (mengambil pisau di atas kaca rias). Bunuhlah aku atas kebimbanganku sendiri agar kau tidak merasakan sakit-sakit itu lagi menembus kulitmu. Ambillah, tusuk aku dari bagian mana yang paling kau suka! (menyerahkan pisau ke tangan Perempuan setengah baya).

Perempuan setengah baya

Baiklah, aku benci kau yang bimbang. Aku bunuh saja dikau Tuan (memainkan pisau di pinggang suaminya). Akh, aku tidak bisa! Daripada harus membunuhmu, lebih baik aku kau nomorduakan saja (menangis).

Istri tua

(memasuki kamar dengan ganas lalu menusuk Akang dari arah belakang. Akang berteriak hebat. Lampu redup).

Perempuan tua

Tuhan selalu saja ingin mengajakku bercanda. Tak lama itu, hidupku berubah seratus delapan puluh derajat. Harta warisan suamiku semuanya jatuh ke tangan istri tuanya. Aku bekerja sebagai penjahit di siang hari dan sebagai pesinden di malam hari. Tapi tetap saja, sistem labbeling terhadap diriku sebagai seorang pelacur masih saja dipakai oleh orang-orang Indonesia. Ah, kampungan, norak! (sedang menjahit kain Batik dan terdengar suara adzan Magrib). Tiba-tiba saja aku rindu kampung halamanku, aku rindu rumahku, aku rindu ibuku (sambil mengelus-elus kain Batik). Sedang apa ibuku? Apa dia masih seperti dahulu? Mengenakan atasan sederhana dengan bawahan kain Batik khas tanahku, Lombok. Motifnya takkan pernah kau temukan dimanapun. Biasanya bermotif cicak, kadal, katak, serta binatang reptil lainnya. Dia begitu cantik! Perempuan Lombok yang sangat menjaga kesucian marwahnya (terisak). Mungkin bedanya ia sudah tua sekarang. Mungkin saja keriputnya bertambah. Garis-garis di bawah matanya, kelopaknya. Jika adzan begini beliau sering berkata: Sholatlah nak, sebentar saja! (adzan Magrib selesai berkumandang).

Sore-sore itu indah sekali!

Senja di pelabuhan tua

Tak mengalahkan senja

di tanah Lombok

Ufuknya ibarat lelaki yang

merindukan senja

Perempuan-perempuan cantik

di tanah Lombok

Kemilaunya memancarkan

Keindahan,

tanahnya, ladangnya, langitnya

Tuhan memang adil sungguh!

Perempuan tua

Lalu aku biasanya langsung ke ladang. Mengambil wudhu di kendi-kendi yang sederhana. Aku melihat ufuknya yang semakin memerah. Cantik sekali! Seperti perempuan Lombok yang terkenal karena kecantikan parasnya. Menggambarkan Indonesia yang indah tiada tandingannya. Biasanya kalau aku sholat hanya untuk di lihat oleh Ibu, beliau berkata lagi:

 Jadi dirimu apa adanya. Walaupun orang-orang menilaimu tidak baik,  Tuhan memandang umatnya dengan caranya sendiri. Jadi tak perlu penilaian dari umat lainnya. Tuhan tidak tidur, ia Maha Melihat. (terdengar suara orang mengetuk pintu).

Ujang

Neng, sudah waktunya. Ayo, ditunggu di kampung sebelah. Penontonnya sudah ramai atuh. Pengin cepat-cepat bertemu eneng euy. Mangga, saya tunggu diluar.

Perempuan tua

(Perempuan tua tersenyum. Kemudian menutup kembali pintu rumah. Perempuan tua melihat jam dinding. Hari menjelang malam. Ia bersolek di depan kaca rias). Aku harus segera bersiap-siap. Sebentar lagi aku akan menghibur mereka. Aku hanya akan melakukan apa yang aku suka. Kenikmatanku pada tembang Sunda mengingatkan aku betapa gilanya cintaku pada suamiku sampai-sampai aku dibutakan kalau ia sudah beristri. Terserah apa kata orang. Mereka tidak memberiku makan sepeserpun. Mata-mata tetangga yang biasa mengintaiku saat aku pulang di pagi buta bukan hanya satu atau dua pasang. Aku tahu lelaki-lelaki itu tak hanya menikam aku lewat pemikiran-pemikiran dangkal yang mereka punya, mereka juga menikmati keindahan tubuhku. Percayalah, mereka menelanjangiku lewat pikiran kotor mereka! Seperti kecoa. Laki-laki kecoa! Kecoa laki-laki! (Perempuan tua mengambil tasnya lalu berlalu menuju pinggir panggung. Lampu redup).

Pangapunten kasadaya

Kanu sami araya

Rehna bade nyawer heula

Ngedalkeun eusi werdaya

Dangukeun ieu piwulang

Tawis nu mikamelang

Teu pisan dek kumalancang

Megatan ngahalang-halang

Bisina tacan kaharti

Tengetkeun masing rastiti

Ucap lampah ati-ati

Kudu silih beuli ati

Lampah ulah pasalia

Singalap hayang waluya

Upama pakiya-kiya

Ahirna matak pasea

 

S E L E S A I

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar