Sabtu, 10 Oktober 2020

PENGANTAR ANTOLOGI PUISI 22 UKM TEATER HAMPA INDONESIA

 


PUISI: ANTARA KATARSIS DAN KARYA SENI

Oleh: Abdul Mukhid

 

Adakah puisi hanyalah sebuah katarsis untuk mencuci jiwa penyairnya? Adakah ia sebuah karya seni? Ataukah ia sekedar alat pelampiasan amarah atau kegalauan? Agaknya yang terakhir inilah yang saya jumpai dalam puisi-puisi antologi puisi 22 ini. Hampir seluruh puisi yang ada di sini hanya berisi curhat kegalauan atau kemarahan penulisnya. Lantas apakah puisi tidak boleh nguda rasa atau mengungkapkan perasaan penulisnya? Tentu saja boleh. Namun demikian, pengungkapan perasaan itu jangan melupakan puisi sebagai karya seni. Ungkapan-ungkapan itu janganlah terasa dangkal dan hambar sehingga puisi tidak bisa dinikmati baik dari sisi kekuatan bahasa maupun kedalaman isinya. Singkat kata, kalau memang bisa diungkapkan langsung atau ditulis sebagai bukan puisi, kenapa harus ditulis sebagai puisi? Ketika saya membaca puisi-puisi yang ada di sini, terasa sekali luapan emosi tiap penyairnya. Terasa sekali puisi-puisinya jadi bertele-tele dan dangkal. Penyairnya mengumbar begitu saja emosinya tanpa mengendapkan atau mensumblimasikannya terdahulu untuk kemudian diolah menjadi kata-kata yang bernas yang memiliki bahasa ucap yang kuat.

            Persoalan lain yang saya jumpai adalah persoalan bahasa. Jangan dikira kalau menulis puisi berarti lepas sama sekali dari kaidah bahasa. Kalau pun keluar dari kaidah tentunya ada kesengajaan atau diniatkan untuk tujuan tertentu, entah itu tujuan artisik atau pertimbangan lain. Kesalahan paling menonjol dalam antologi ini adalah ada beberapa puisi yang menggunakan singkatan layaknya SMS seperti “yg” atau “dr”, padahal di dalam puisi itu sendiri tidak ada indikasi menyisipkan SMS. Hal ini menunjukkan ketidakseriusan dan kesembronoan berbahasa dalam menulis sebuah karya sastra, padahal bahan baku utama karya sastra, terutama puisi, adalah bahasa.

            Hal menonjol lainnya yang saya jumpai adalah banyaknya ungkapan-ungkapan klise. Saya curiga hal itu disebabkan kurang luasnya bacaan sehingga para penulisnya miskin kata-kata. Pada gilirannya, nyaris tidak ada yang menemukan metafora baru sehingga gagal membangun imaji dalam puisi-puisinya. Harap selalu diingat, “penulis yang baik adalah pembaca yang baik.” Sekalipun demikian, saya mencatat ada satu puisi yang lumayan berhasil membangun imaji, yaitu Tiramisu Latte:

Aneh

Ini latte pertama yang aku pesan

Setelah mengunjungi beberapa kedai kopi

Tapi, malam ini

Latteku tak sama dengan lattemu

 

            Puisi naratif ini berhasil bercerita dengan singkat, padat tetapi mengena. Sebagai pembaca kita bisa menciptakan ruang-ruang imajinasi di benak kita. Tidak hanya itu, tanpa mengungkapkan perasaannya, kita seolah-olah bisa menangkap apa yang dirasakan penyairnya.

            Terakhir, saya ingin menyampaikan rasa apresiasi saya setinggi-tingginya atas keberanian dan kegigihan teman-teman untuk mewujudkan antologi ini. Semoga apa yang saya ungkapkan di atas tidak membuat kalian berkecil hati, namun justru terlecut untuk terus belajar, berproses dan berkarya. Selamat Anda sudah menaklukkan diri sendiri!

 

Abdul Mukhid

Malang, 17 September 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar